Tujuhpuluh: Kala Tulus Jujur Adalah Jawaban

962 131 13
                                    



Kau berdiri di atas ladang berdebu penuh semak berduri,

Dengan ular-ular culas mengintaimu jatuh,

Padamu, mereka cemburu.

Sebab kau yang terlahir akibat jelaga, bermahkota emas di puncak kepala.

Berikan padaku, biar kusimpan sampai tiba masanya.

Kala kau telah bersama para Raja yang tak terbantahkan.

Kau adalah sebagaimana mereka sekalipun kucuri mahkota di kepalamu saat ini.

*


Aymard termenung menatap Sbastyn yang tersenyum getir padanya. Pemuda itu kelihatan tidak enak hati, penuh keterpaksaan kala berkata akan berbicara pada Katarina tentang urusan nama itu. Aymard perlahan meraih bangku di sisinya guna menopang tubuhnya yang mendadak menjadi lebih berat.

"Seba, aku –"

Sbastyn mengangguk kemudian bicara memotong perkataan Aymard yang sudah pasti adalah keberatannya atas apa yang akan Sbastyn lakukan.

"Aku tahu. Tapi di sini aku, sebagaimana biasanya, harus selalu focus dengan apa yang menjadi maksudku. Dan, berdarah dingin."

Senyum masam menghias wajah Sbastyn. Aymard menerawang dan menghela nafas, gerakannya yang sangat perlahan kala mengambil tempat di bangku tersebut mengabarkan dengan jelas bagaimana suasana hatinya. Selain tengah gulana dengan keadaan Katarina, ia pun tak bersemangat lagi untuk mengganti nama belakangnya dengan nama keluarga Katarina.

"Sudahlah, Seba. Aku menyerah. Aku tidak mau jadi cucu durhaka yang mengancam nyawa nenek sendiri."

Sbastyn tersenyum masygul, "Begitu? Kau menyerah saja?"

Aymard menunduk. Ia paham apa maksud Sbastyn. Aisha dan dirinya memang saling mencinta. Pintu gerbang kebahagiaan mereka berdua memang tak mudah terlihat, terutama sekarang ini. Kalau Aymard berhenti berusaha untuk bisa menikahi Aisha, maka suatu waktu ia pun harus bersiap kehilangan kesempatan bersanding secara resmi dengan Aisha. Bukan perasaan yang dinilai pertama dalam kehidupan mereka dan –meski Sbastyn begitu baik dan bisa menerimanya dengan tangan terbuka, tidaklah serta merta Aymard menganggapnya tulus. Selalu ada maksud untuk orang-orang berkedudukan tinggi macam Sbastyn.

"Aku akan jujur padamu, Aymard. Kalau kau tak jadi bermarga di Orsini, akan sedikit repot aku nanti."

Seakan bisa membaca benak Aymard, Sbastyn berkata tanpa ditutupi. Ekspresinya masih sama, tidak enak hati. Namun, sorot matanya menajam. Cara ia berbicara pun lebih perlahan, seakan takut Aymard salah menangkap maksudnya. Mau tak mau Aymard memandang Sbastyn lekat-lekat,

"Aisha, bagaimanapun adalah sebuah bola panas. Kalau ia bersamamu, dengan sendirinya aku tidak harus mengkhawatirkan akan bagaimana jadinya ia nanti. Bagaimana nasib asset mendiang Pamankku yang paling eksentrik."

Aymard mendengus diikuti tawa kering yang sinis, "Aku paham." katanya.

"Aku terdengar tidak punya hati, ya?" tanya Sbastyn retoris.

Aymard mengangguk, "Dan picik."

Sbastyn mencebik, "Beginilah nasib Kepala Keluarga."

Aymard tertawa pelan sebelum berujar panjang lebar, "Aku bukannya menyerah untuk memperjuangkan Aisha, Seba. Aku tahu, usulmu ini adalah untuk mempermudah kami bersatu, yang kebetulan menguntungkan dirimu. Hanya saja, lihatlah, penebusan yang harus siap kuterima terlalu mahal, Seba. Keselamatan nenek aku lebih penting saat ini. Dan, Aisha juga mengerti."

Into You [F I N]Where stories live. Discover now