Tujuh Belas: CUE

1.9K 190 13
                                    

Aisha tidak seperti Aisha, tentu saja. Dia berdandan sangat layak, menjadi persis nyonya muda yang getol merawat koneksi sosialnya dengan bergembira bersama di klub malam. Namun, sesungguhnya, menghadiri acara di CUE pernah menjadi bagian penting tersendiri. Sebuah kenangan dari masa belia Aisha yang kerap berlibur ke ibukota. Dulu.

Semua diawali bisik-bisik tentang bands atau DJ keren yang sering tiba-tiba menghelat pertunjukan di CUE, ia bersama teman-teman konstan menghadiri acara CUE di tengah pekan. Tentu saja akhirnya tidak murni demi musik lagi, karena siapapun juga tahu klub malam paling terhormat sekalipun selalu berjalan separuh kelam.

Para lelaki tampan yang menikmati musik tidak pasaran seketika menjadi kegemaran teman-teman Aisha. Mau tidak mau, Aisha dinilai demikian. Sebagaimana praduga orang-orang atas gerombolannya. Ikut terseret persepsi yang tipikal; gadis-gadis yang hanya mau bersenang-senang tanpa peduli resiko.

Tapi tidak ada yang keberatan sama sekali. Kehadiran para gadis belia nan rupawan selalu menghalau penat hari meski hanya dengan melihat mereka bersliweran atau tertawa lepas penuh percaya diri seakan mereka makhluk paling cantik dan beruntung malam itu.

CUE, sejak dulu, tentu dipenuhi orang-orang yang sungguh menyukai musik bagus terutama di tengah pekan. EDM tidak semata latar untuk berjingkrakan melepas penat. Orang-orang tertentu memang berjadwal di tengah pekan, dan gadis-gadis muda bergerombol datang mencoba peruntungan. Ingin mencuri perhatian seseorang.

Atau malah memboyong masalah?

Seperti Aisha dulu. Sungguh, kisah klise nan basi. Ia sendirian begitu tenggelam dalam perhelatan grup musik Club 8 lebih dari satu dekade silam. Tak menyadari teman-temannya telah berpencar dengan target masing-masing. Dirinya tidak polos namun tidak juga seterbuka banyak temannya. Malam itu memang murni ia datang untuk menyaksikan performa Club 8. Seorang lelaki menawan menghampiri, begitu saja duduk di sebelahnya. Berbagi rasa kala menikmati pertunjukan yang tidak pasaran, setidaknya di tanah ini.

Obrolan ringan tercipta, menyelingi luapan hati untuk performa yang selalu berbeda dari versi rekaman atau MV. Selalu mudah untuk cair dengan seorang asing apabila memiliki kesamaan minat, terutama musik bagi Aisha. Tak perlu banyak kata, malam menjadi lebih bersemangat, bukan kejutan kalau ujung hari ditutup liar oleh mereka.

Namun, ternyata si Rupawan terbius penasaran berlebih, tak menjadikan Aisha sekedar pemanis satu malam belaka. Meniupkan teluh ilusi tentang betapa berharga dan tinggi harga Aisha baginya. Dua pasang orangtua yang menentang tidaklah dianggap, malah dinilai sebagai rintangan untuk cinta mereka. Si Rupawan memabukkan, membius Aisha dengan limpahan cinta. Persis romansa kegemaran para gadis, kehamilan tanpa ikatan bahkan dirasa sebagai jalan keluar.

Mereka menikah saat keduanya begitu belia, belum tahu apapun tentang hidup. Cinta mereka sungguhan, menjadi legal dengan restu orangtua yang terpaksa. Semua berjalan baik karena Aisha dan si Rupawan sadari benar keputusan mereka. Keduanya menerima tanggungjawab atas keputusan mereka tanpa beban. Semua berjalan baik. Bahkan Rahman sangat bangga pada keduanya meski tahu kedua orangtuanya tidak suci layaknya orangtua teman atau saudaranya.

Berteguh hati dan berjumpalitan akibat kukuh menggenggam tanggungjawab adalah keharusan mutlak bagi Aisha. Tapi rupanya ujian yang sesungguhnya hadir dalam rupa jamak yang berbeda untuknya. Ia tersadar, ujiannya dimulai saat si Rupawan mendapati diri jalan di tempat dengan cita-citanya sebagai personel sebuah band yang berulang ditolak label. Bukan dia tak bisa bekerja, tapi keras kepalanya menyeret Aisha dan Rahman dalam ketidak pastian hidup.

Emosi-emosi mulai meledak tidak beraturan sampai akhirnya entah mengapa mulai bersliweran nama-nama perempuan tidak dikenal. Wangi cinta malah mengental menuju ranah frustasi, sebentar lagi menari di depan gerbang depresi.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now