Duapuluh Sembilan: Dua Ujung Tombak

1.3K 148 37
                                    


status: filler


Andjani memandang Shafina malas-malas sambil menopang dagu. Barusan kekasih mentereng Alaric Dirdja tersebut menyerocos panjang lebar tentang betapa berharga dan pentingnya dia bagi Alaric. Andjani tahu mengapa Shafina berulah konyol seperti itu: Kebakaran jenggot karena takut kehilangan Alaric. Kantung uang sekaligus jangkar emasnya untuk berkeliaran damai di dunia ini.

Sekarang Andjani menegakan tubuh lalu meraih cangkir tehnya. Sebetulnya dia lebih suka kopi dalam cangkir biasa, bukan demitasse, Espresso tanpa gula. Tapi karena ia berhadapan Shafina yang –sama seperti Alaric, suka menggembar gemborkan detail sempurna kehidupan mereka, maka ia memilih teh saja. Meski bukan Earl Grey tapi Oolong dengan sesendok krim dan satu kotak gula, yang disajikan dalam porselen bone china bermotif bulu merak. Cukup di restoran kasual yang punya nama saja, tak perlu di restoran formal, untuk membuat Shafina sadar diri kalau seorang Andjani tak mungkin kalah piawai tampil menawan. Glamorama sudah menjadi keseharian Andjani sejak dalam kandungan, sudah tidak terbantahkan. Meresap sampai ke tulang, menjadikan ia seorang perempuan yang sangat berhak atas setiap kilau duniawi.

Maka, Shafina yang harusnya sopan terhadap Andjani. Meski orang-orang tidak mau membicarakannya, tapi kedudukan sosial itu nyata. Dan Shafina –mengingat sudah lama ia bersliweran di sekitar Alaric, mestinya sadar, orang seperti dia bukan siapapun di mata Andjani.

"Kenapa lo ngedeketin Alaric?"

Andjani melirik sejenak. Bisa diasumsikan kalau Alaric tidak bercerita tentang alasan mengapa belakangan ia dan Andjani sering tampil berpasangan dalam pesta-pesta.

"Harusnya kemarin dia jemput gue di Halim. Tapi karena lo maksa nemenin ke cocktail party di Museum Nasional, Dono yang jemput gue."

Andjani acuh saja, meletakan cangkir tehnya dengan tangan lain mengibas rambut lurus sebahunya yang legam. Shafina sedikit menyipit mendapati sinyal bahwa Andjani meremehkannya.

"Gue ga tahu, ya Shaf, lo marah-marah karena apa. Apa Alaric ga cerita kalau bukan gue yang minta dia temenin gue kemarin? Tante Magda yang suruh."

Shafina tersedak irisan Saffron yang sedang dikunyahnya. Andjani berdecak-decak memandangnya pura-pura bersimpati seraya menyodorkan segelas air putih.

"Hati-hati dong kalo makan. Tertohok hati masih bisa bernafas. Tapi tertohok salad yang nyangkut di tenggorokan, lo bisa tewas ditempat."

Shafina yang masih terbatuk meski sudah tak lagi tersangkut Saffron, sempat mendelik seram pada Andjani.

"Untung ya dipotongnya kecil-kecil." cetus Andjani apatis tanpa perasaan.

Shafina sudah tidak batuk-batuk, kembali bersikap tenang meski ingin rasanya menjambak Andjani.

"Kenapa Tante Magda suruh Alaric nemenin lo?"

Andjani menggedikan bahu, "Tanyain aja sama pacar kesayangan lo."

Shafina memerah mukanya. Dari tadi ia sudah merasa sangat kesal merasa diabaikan Andjani. Sekarang, rasanya ingin meledak sampai ubun-ubun saat tahu ibunda Alaric yang baru beberapa kali ia temui ada dibaliknya. Tapi tak lama, sewaktu lebih tenang, tahu-tahu ia menjadi cemas, berpikir kalau Magdeléne memilih Andjani untuk Alaric. Pening seketika menyerang kepalanya, masa depannya terasa mengabur tiba-tiba. Terlebih, belakangan Alaric memang terasa sangat berjarak. Bicaranya jarang dan selalu kelihatan berpikir. Shafina masam hatinya kini, merasa terlalu egois hanya marah-marah tanpa mau peduli apa yang sedang menjadi masalah Alaric. Shafina merasa wajahnya dingin.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now