Enampuluh Tujuh: Duka Manis

644 108 12
                                    


Katarina mengerutkan bibir tidak suka sewaktu Aymard menemuinya dan meminta berbicara empat mata. Mereka berdua memasuki ruang baca yang tidak jauh dari perpustakaan. Ruangan itu tidak besar. Hanya berisi seperangkat sofa nyaman, sebuah meja gambar, satu lemaari besar berisi buku-buku yang telah menjadi kitab bisnis, dan jendela besar yang menghadap taman belakang. Waktu kecil Aymard sering bersembunyi di ruangan yang biasa mereka pakai untuk menyambut para Pengacara tersebut. The Avocadoes perusahaan yang tidak pernah menjadi teman mereka. Andjani yang sudah memprediksi, memilih untuk kembali menemani Magdeléne ketimbang mencari Alaric yang tengah berbicara dengan dokter keluarga mereka.

"Ada perlu apa kau sampai memaksa seperti ini?"

Aymard tidak memasang senyum. Ia sudah lelah menghadapi Katarina. Saat ini dirinya hanya menahan diri agar tidak kurangajar sebagai seorang cucu.

"Duduklah dulu, Mamie."

Katarina mencibir namun tak ayal menuruti Aymard. Sebuah sofa tunggal putih patah menjadi pilihannya. Sofa terjauh dari Aymard.

"Mamie, ada yang sangat penting yang harus aku bicarakan padamu."

Katarina meremas kesal puncak tongkatnya. Perasaannya tidak enak, terutama setelah Mr. Gilbert berbisik kalau Magdeléne tidak bohong. Akan ada selain Pangeran yang diundangnya ikut makan siang nanti.

"Mamie, aku berbicara begini untuk meminta restumu."

Katarina mengangkat dagu pongah. Matanya menakar sosok Aymard sebelum berkata, "Restuku? Siapa dirimu sampai aku harus merestuimu?"

Aymard memandang Katarina, "Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Mamie. Aku betul-betul membutuhkan restumu."

"Untuk apa?"

"Menikah, Mamie."

Katarina mengernyitkan kening, "Menikah? Dengan siapa? Jangan kau bilang demi asisten rendahan yang ingin naik kelas itu, kau memaksaku memberi restu!" dengus Katarina marah.

Aymard menahan diri untuk tidak terpancing emosi, "Namanya Aisha, Mamie."

"Apa perlunya aku tahu? Aymard, jangan mempermalukan aku. Dia tidak sepadan! Dia bisa besar kepala kalau aku sampai memberikan restuku! Mengapa kau tidak belajar membawa diri sampai sekarang? Lihat adikmu, dia begitu sempurna!"

Aymard merasa kedua pelipisnya berkedut. Mantra sabar ia bisikan untuk dirinya sendiri.

"Namanya Aisha. Aisha Roestam von Durlach."

Seketika Katarina membatu. Matanya terkunci pada Aymard.

"Ya, dia AR Durlach yang mewarisi semua milik Lord Mason Durlach de Eu de Savoyye."

"Savoyye?" Tanya Magdeléne dengan suara meninggi.

Aymard mengangguk.

"Bagaimana mungkin kau akan menikahi seorang yang menyandang nama de Savoyye sementara kau hanya seorang anak haram?"

Aymard memejam sejenak, "Ya, Mamie. Bagaimana mungkin bukan? Maka dari itu aku memohon restumu."

Katarina menegang, rahangnya yang bergemeretuk terdengar.

"Pihaknya menyarankan agar aku memakai nama matriarch Mamie yang terhormat."

"Aku tidak sudi mengakuimu sebagai seorang Proust!"

Kembali Aymard memejam sejenak, "Tidak, Mamie. Bukan Proust."

Katarina menatap tajam Aymard dengan wajah merah padam.

"Di Orsini, Mamie. Mereka memintaku agar Mamie membiarkan aku menyandang nama di Orsini,"

Katarina bangkit dengan gemetar. Ia terlampau marah. Ia berencana kalau makan siang nanti akan membicarakan Alaric sebagai cucunya yang sempurna. Mencoba peruntungannya supaya Pangeran tersebut berminat merekomendasikan Alaric sebagai penerus keluarganya yang nyaris kehabisan penerus. Supaya Konsul dari Eropa mengerti kalau tidak hanya ada satu Pangeran yang berpengaruh. Demikianlah pikiran Katarina tanpa mengetahui kalau seorangan pangeran yang ia maksud masihlah sama dengan pangeran yang para Konsul maksud.

"Lancang sekali kau, Aymard! Lancang sekali!"

Aymard menahan nafas. Ia tahu akan begini.

"Mamie –"

Katarina yang melangkah tertatih geram, "Diam kau!"

Aymard memandangnya sedih. Sejenak Katarina terkejut karenanya. Hatinya menggigil dan rasanya Katarina ingin menangis melihat Aymard.

"Aku tidak pernah minta apapun dari Mamie. Aku tak bermaksud lancang atau apapun. Aku tak peduli aset keluarga besar Mamie. Aku hanya ingin menikahi kekasihku saja, Mamie. Tolonglah. Ini pertama dan terakhir kalinya aku memohon padamu. Aku janji, Mamie."

Katarina mematung. Aymard bicara begitu lugas tanpa ditutupi. Tiba-tiba ingatannya terlempar ke masa lalu. Masa saat Aymard masihlah balita sebelum kehadiran Alaric.

"Mamie, robot mati! Bisa bikin hidup, sil vous plait?"

Katarina ingat ia waktu itu enggan menyentuh bocah itu. Tapi air matanya yang mengalir deras membuatnya trenyuh. Itu adalah pertama kalinya ia menyentuh putra Magdeléne. Sejak kecil ia selalu berkata tolong.

"Mamie, apa ikan disayang Mamanya, Papanya, Papienya, Mamienya?"

Katarina memejam. Kenangan yang itu datang dari kali pertama ia menggendong Aymard dan berjalan-jalan di taman.

"Kaki Mamie sakit? Apa obatnya? Aku bisa ambilin, Mamie!"

Hati Katarina menggigil mengingat Aymard yang panic mendapatinya terpeleset di kebun anggur mereka. Bukan jatuh yang menyakitkan, namun kekhawatiran di wajah bocah berumur lima tahun dulu itu kentara dan menghangatkan Katarina. Katarina ingat ia malah jadi pura-pura terus meringis demi Aymard kecil memijiti pergelangan kakinya dengan tangan mungil yang hangat. Ya, Katarina menyukai semua perhatian Aymard kecil. Segala sesuatu dari bocah itu manis dan menghangatkan hati. Katarina masih berjarak, namun ia tahu perlahan ia bisa jatuh cinta pada bocah itu. Sayang, semua berubah setelah ia mendapati kabar kehamilan Magdeléne. Kesadaran dan harga dirinya kembali utuh seketika menyadari kalau Aymard adalah seorang anak yang tidak sah. Katarina memilih menyangkal rasa sayangnya pada Aymard.

"Tolonglah, Mamie."

Permohonan Aymard mengembalikan Katarina pada masa sekarang. Aymard masih di hadapannya. Kini berdiri di depannya. Jaraknya lebih dekat dari semua jarak yang pernah ada di antara mereka, Katarina terhuyung mundur beberapa langkah. Mata Aymard yang memerah menggetarkan seluruh tulang-tulang di tubuhnya yang telah renta.

"Aku paham Mamie benci aku. Jadi, tolong katakana Mamie, aku harus apa untuk mendapat restumu?"

Katarina tidak siap atas luapan emosinya sendiri. Ia ingin marah dan menangis, juga memeluk Aymard sekarang juga. Ia mundur lagi kemudian berbalik, melangkah perlahan menuju pintu. Tidak. Ia tidak bisa berlama-lama di sini. Ia betul-betul tidak siap. Harusnya ia tak bermasalah dengan menggeleng ataupun menolak Aymard diikuti makian pedasnya seperti biasa. Entah kenapa, saat ini Katarina tidak mampu untuk melakukan kebiasaannya itu. Ia keluar dan kembali ke ruangannya. Ia lelah, sangat lelah.

Aymard mematung sejenak sebelum gontai membanting tubuh ke sofa. Ia tahu akan begini. Yang ia tidak duga sama sekali adalah perasaan teramat sangat lelah yang tiba-tiba menyergapnya ini. Rasanya ia ingin menangis tapi tidak bisa. Dadanya pepat, tapi ia tak merasakan emosi apapun selain rasa lelah dan ingin berlari entah kemana. Aymard tak ingin putus asa, namun segala sesuatunya jalan buntu untuk hubungannya dan Aisha. Bahkan ia teringat Rahman yang masih tidak mau bicara banyak padanya. Aduh! Aymard merutuk kalau dirinya tanpa sadar sudah sombong memilih kisah cinta yang berat untuk diperjuangkan. Ia mengerjap. Matanya basah tanpa ia sadari. Senyum pedihnya terlukis sejenak sebelum ia memejamkan mata. Ia mengantuk sekali.

*****

06.DICEMBRE.2019

AM 08:18


antara satu atau dua part lagi. bisa kebut kalau lagi ga ngantuk. semoga bisa bersabar.

Into You [F I N]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora