Tigapuluh Enam: Dia Yang Harus Diyakinkan

948 135 34
                                    



status: filler


Ruangan itu hangat dan tidak gemerlapan. Sebuah ruang lapang berdinding kayu utuh dengan perabotan yang juga bernuansa sama. Sofa kokoh dengan kontruksi oak muda sementara bantal-bantal berlapis kain-kain rajutan motif tribal Aborigin dan Maori beri kesan kenyamanan yang semakin menjadi. Pencahayaan yang cukup temaram memberikan kesempatan nyala api dari perapian ikut ambil bagian dalam harmonisasi ruang tersebut. Di luar memang sudah tidak lagi turun hujan salju. Tapi awal musim semi kali ini masih sisakan angin dingin menusuk di Kimberley.

Di lantai depan perapian, terhampar alas kulit binatang. Mungkin Elk dari Tanah Utara yang jauh, atau Antilope raksasa dari Afrika, tak jadi soal. Dua orang dewasa bertelungkup di atasnya, menghadap perapian membahas halaman sebuah majalah petualangan. Di punggung mereka, masing-masing seorang bocah bercengkrama damai. Seorang anak lelaki menjelang remaja duduk berselimut raw wool halus, di kursi goyang yang lebih dekat ke jendela ketimbang perapian. Sesekali ia melirik ke arah mereka yang berceloteh di depan perapian, senyum tipis tak akan luput ia ulas meski tak ada yang melihatnya. Sungguh petang yang damai.

Di ujung malam pertunangan Alaric dan Andjani beberapa hari lalu, perasaan Aymard sangatlah buruk. Aisha memang hanya diam membiarkannya menangis tanpa suara, tapi rupanya Aisha tak membiarkan Aymard terpuruk. Perempuan itu tak sama sekali mencecar Aymard dengan pertanyaan, hanya biarkan Aymard menjadi tamunya di Weathergrass. Setelah sedikit lebih tenang, di hari ketiga, Aymard mendapati Marcello dan Jaya Emyr datang ikut sarapan bersamanya. Aisha sengaja mengundang mereka karena alasan sederhana; mereka berdua adalah sahabat Aymard meski tidak sering tampak bersama di muka khalayak. Aymard sedang sangat butuh didampingi. Tidak boleh sendirian. Alasan selanjutnya, dikarenakan Aisha dan putra-putranya sudah berencana akan pergi barang sepekan untuk menikmati penghujung musim dingin di Australia. Menurut Aisha, Rahman terlalu penasaran dengan salju tipis di bulan Agustus. Begitupun dirinya.

Maka, Jaya Emyr dan Marcello berceletuk bersamaan, mengapa Aymard tidak ikut saja dengan Aisha dan bocah-bocahnya? Lagipula, meski Australia itu dekat, cuaca khasnya selalu menambah keseruan sebuah perjalanan. Bukan Sydney atau Melbourne yang menjadi pilihan mereka setelah Marcello menyeringai sedang menjajaki tawaran investasi situs glamping di daerah Kimberley dan sebuah manor dekat Cable Beach. Mungkin bukan tempat yang bisa melihat salju memutih, tapi Rahman sangat tertarik begitu mendengar kata berpetualang dan outback. Seluruh dunia tahu, keluar ke halaman belakang kota-kota modern Australia adalah tawaran utama wisata benua tua itu. Tarantula dan kerabat laba-labanya kadung jadi citra yang membuat merinding. Meski Sydney atau Perth sangat modern, tanah di luar batas kota langsung menjadi milik kerajaan hewan liar. Rahman jelas penasaran. Pun tak sampai satu menit, Aymard menyukai ide tersebut dan langsung memandang Aisha berharap. Jadi, sekarang di sinilah ia.

Aymard menoleh perlahan, ingin tahu mengapa bocah kecil di punggungnya berbaring tak bergerak. Hangat dan melenakan rasanya.

"Dia ketiduran?" tanyanya berbisik.

Aisha yang bertopang dagu tersenyum seraya melirik salah satu putra kembarnya yang rebah di punggung Aymard. Perlahan ia mengangguk,

"Uh-uhm."

Aymard membeliak menahan tawa, demi si Kecil di punggungnya tidak terbangun.

"Kok bisa?" desisnya tertahan.

Aisha tertawa dan perlahan bangkit untuk duduk. Kembar yang satunya merangkak perlahan mendekat dan menepuk-nepuk perut saudaranya. Rahman tak lagi hanya mengulas senyum, tawanya lepas.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now