Limapuluh Delapan: Menjelang Fajar

774 104 26
                                    

Malam telah larut namun Alaric tak kunjung dapat memejamkan mata. Kesadarannya sudah kembali utuh dengan sedikit pening menyerangnya sesekali. Semua akibat alkohol yang terlalu tergesa ia tegak selepas makan malam tadi. Kala dirinya uring-uringan di depan Andjani karena merasa diremehkan Sbastyn. Hal yang begini tidak pernah menjadi masalah karena toleransi tubuhnya atas dampak tersebut sudah sangat baik. Menanggung sedikit pusing sambil tetap beraktifitas adalah hal yang jamak. Tapi, tetap, tak ayal jua Alaric heran. Di malam yang nyaris tua ini, ia merasa pikirannya lebih jernih. Jauh lebih bisa menalar segala yang ia inginkan. Ia bahkan tak menyangkal nuraninya yang memaki kalau rencana yang tengah tersusun di benaknya sangat egois. Tanpa malu-malu juga ia berikan alasan yang membungkam pertentangan hasrat dan nuraninya. Alaric sedang sadar diri sampai mau berterus terang pada dirinya sendiri. Mengakui kebodohannya yang senang menyengaja khilaf.

Sekarang, yang tengah bermain dalam dirinya adalah pertentangan antara jujur mengakui perasaan dan khilafnya malam itu, atau membiarkan saja semua seperti saat ini. Nuraninya menghujat agar dirinya membiarkan Aymard dan Aisha karena sudah jelas mereka saling mencintai. Namun, nuraninya tak berkutik kala ia menegaskan alasan dari tekadnya itu lebih dikarenakan dirinya tidak mau menyesal di kemudian hari. Sederhana sekali, sekedar tak ingin menyesal akibat tiada mengupayakan apapun. Ia memang harus bertindak, jelas.

Masalahnya, ia punya dua pilihan untuk mengupayakan maksud hatinya tersebut. Pertama, ia berlaku layaknya seorang lelaki yang memahami aturan mainnya, berbicara terlebih dahulu pada Aymard dengan resiko akan gagal total menyatakan cinta pada Aisha. Yang kedua, tentu saja bicara langsung pada Aisha.

Alaric memilih yang kedua, meski ia tahu akan sulit mencari cara Aisha bisa berduaan saja dengannya. Mungkin ia harus macam maling kesiangan untuk dapat mencuri waktu perempuan yang Alaric sadari tidak pernah benar-benar sendirian. Seketika dirinya iri pada Aymard. Tak usah heran kalau akhirnya rasa iri itu menguatkan tekad Alaric menggantikan posisi Aymard. Ia tak melihat ada yang salah dengan semua pikirannya tersebut. Wajar, karena sampai detik ini ia hanya mengenal cinta yang keturutan. Sekalinya ia mengingingkan, ia harus mendapatkannya. Siapapun gadis yang ia inginkan tak pernah sungguh-sungguh menolak, hanya memberlakukan permainan tarik ulur terhadapnya. Gadis-gadisnya dulu justru senang saat ia mulai sedikit memaksa. Entah apa alasan mereka, Alaric tak ambil pusing. Hanya saja, karena pengalamannya yang begitu, ia tak merasa melanggar batas kalau nanti memaksa Aisha mempertimbangkan cintanya. Serius, ia merencanakan juga pemaksaan itu. Dari sisi manapun, tak ada yang salah dengan rencananya. Ini urusan perasaan, hukum benar salah akan bersifat relatif. Relatif sesuka-suka Alaric menafsirkan. Ia tak kunjung paham rupanya, kalau seorang perempuan dalam teritori lelaki lain haram hukumnya untuk diajak bermain-main.

Atau, mungkin aturan tidak tertulis itu sudah tidak berlaku?

Dianggap sebagai kode etik yang ketinggalan jaman karena ada yang jauh lebih penting dari sebuah usaha mempertahankan komitmen, yaitu perasaan berdebar yang menjadikan hari lebih bersemangat. Begitu?

Kalau benar, maka untuk apa bersusah-susah mendeklarasikan sebuah hubungan telah resmi dalam koridor berpacaran, bertunangan, atau bahkan pernikahan? Menyeramkan sekali membayangkan keadaan tersebut tanpa aturan. Mempercayai perasaan sendiri tanpa pedulikan begitu banyak hal di luar diri sendiri. Bisa terbayangkan akan begitu banyak friksi dan bentrok kepentingan apabila kode etik tersebut sudah tidak ditaati. Kepentingan untuk jujur menyatakan cinta tanpa peduli yang dinyatakan cinta keadaannya seperti apa. Berjumawa merasa superior jikalau berhasil membuat yang dicinta berpaling dari pasangannya. Permainan ego yang terjadi apabila alasan kejujuran sebatas hasrat keinginan belaka. Seperti yang direncanakan Alaric. Tidak ingin menyesal di kemudian hari? Itu adalah sebuah pernyataan kuat yang berlaku untuk sebuah hal yang hakiki, bukan keinginan sementara kala tengah dikuasai hasrat dan dibiaskan hormon.

Into You [F I N]Where stories live. Discover now