Sebelas: Meski Timpang Dinalar

2.3K 252 19
                                    


Club House tempat Alaric dan Aymard menjadi member istimewanya memang memiliki penginapan. Bukan jenis penginapan yang bisa memancing petualangan malam hari memang, karena fasilitas ini diperuntukkan bagi keluarga yang ingin sekalian bersantai di akhir pekan. Terletak di selatan batas administratif Jakarta, klub memang hanya terlihat ramai di akhir pekan. Keluarga-keluarga kecil akan memenuhi situs penginapan yang terletak di perbukitan, tak jauh dari kolam berlatih dayung dan kolam renang keluarga. Sementara makin ke bawah, ke arah lembah yang melandai, fasilitas kebugaran lengkap tersedia kecuali stadion sepak bola. Alaric biasanya akan langsung pulang sedang Aymard memang biasa menyendiri di Jumat sore. Sekedar mengambil retreat semalam dari urusan kerja.

Tapi malam ini berbeda. Alaric terlalu mengantuk selepas menjalani latihannya sore tadi. Ia kelelahan, sampai-sampai setelah mandi ia tertidur terngkurap begitu saja, melintang dengan kaki menggantung melewati sisi kasur. Kalau bukan karena perutnya bergemuruh, mungkin baru besok pagi ia bangun. Rasa laparnya langsung menguasai begitu ia bangun dengan tubuh pegal-pegal, kesadarannya belum utuh. Duduk di sisi tempat tidur sambil berusaha membuka mata ia berpikir, pastilah Aymard sedang di tempat si Aisha yang ternyata datang ke Klub dengan personel lengkap; bersama Rahman dan dua balita kembar nan rusuh itu. Untung sudah ada barisan pengasuh juga sekarang. Sore tadi Aymard berkata sambil lalu akan bergabung di tempat mereka, mau bakar ikan dan jagung.

Memikirkan makanan, perut Alaric merespon.

"Perut kampret!" gerutu Alaric sebal.

Ia bangkit guna membasuh muka, berharap matanya yang lengket bisa lebih cepat berfungsi kalau sudah bersih. Kamar yang temaram membuatnya bergerak malas-malasan. Pasti sudah sekitar tujuh malam sekarang, jika melihat langit yang sudah total kelam. Ia termenung menatap wajahnya di cermin dekat wastafel, rambut acak-acakan dan mata yang masih sipit. Penampilan yang pantang ia berikan pada siapapun di luaran. Bahkan para gadisnya tak pernah mendapatinya begini. Alaric memang selalu meninggalkan mereka terlelap damai usai sesi liar mereka. Sendirian. Mungkin berlebihan, hanya saja ia tak mudah merasa nyaman terhadap sembarang orang.

"Urghh...gue buruk banget."

Bahkan suaranya pun serak saat ia mengomentari dirinya, diikuti beberapa kali batuk karena gatal yang menyergap tenggorokan.

"Fix. Gue masuk angin." keluhnya.

Maka, setelah selesai merapikan sedikit penampilannya, Alaric memanggil Dono.

"Pesenin gue makan malam." katanya tanpa tedeng aling-aling.

Terdengar suara Dono mengeluh panjang, memintanya menunggu sekitar 15 menit karena ia tidak berada di tempat. Terdengar sayup-sayup suara tawa tanpa beban di kejauhan.

"Di mana lo? Berani banget senang-senang ninggalin gue sendirian macam jones?!"

Dono tertawa, "Maaf, Bos. Kita semua lagi kekeluargaan di tempat Aisha. Bos Aymard juga di sini."

Alaric merasa bukan main kesal mendengarnya, "WHAT?!"

Dono menggumam.

"Gue tau Mardi emang mau makan malam sama mereka. Danti ikut dia ga masalah! Tapi lo itu Pe-A gue, Dono!"

Dono menggumam panjang, "Tadi Anda tidur, Bos Alaric. Jadi kupikir bisa ditinggal sebentar buat bakar Cakalang. Maaf. Okay, mau makan apa?"

Cakalang Bakar? Alaric meneguk ludah, menggiurkan.

"Selera gue perlu distimulasi ulang. Dateng lo ke sini, jemput gue! PA ga guna!"

Into You [F I N]Where stories live. Discover now