Empatpuluh Enam: Petuah Tuan Puteri

663 116 15
                                    



Andjani memandang Alaric tanpa ekspresi meskipun dalam benak ia sungguh-sungguh kesal. Lelaki yang kemungkinan besar akan jadi suaminya tersebut terus bicara tanpa henti mengenai hubungan mereka. Pembicaraan berputar-putar dan tanpa inti yang berakhir pada ketakutan tidak bisa bahagia menjalani rumah tangga nanti. Saat pada akhirnya lelaki itu melontarkan pertanyaan tentang cinta di antara mereka, spontan mata Andjani memutar malas. Ia menyambar gelas minumnya. Air mineral dingin akan sedikit meredam ledakan amarahnya.

"Bomat." gerutu Andjani.

Alaric yang sepanjang bicara tangannya bergerak-gerak, bahkan ada cangkir kopi di tangan kanan –herannya, tidak tumpah isi cangkir tersebut, mengangkat alis memandang Andjani tak percaya.

"Lo ga nyimak gue, Ni?"

Andjani mengabaikan, membuat Alaric memandangnya lurus-lurus, "Lo ga dengerin gue sama sekali?"

Andjani melirik sejenak, melempar ekspresi sebal, kemudian bicara, "Lo itu pointless!"

"Apa?" jengit Alaric tak terima.

Andjani menggedikan bahu, bicara sambil memilih asesoris mana yang akan ia kenakan malam ini. Mejanya penuh dengan perhiasan-perhiasan koleksinya yang didominasi bebatuan berkilau yang terpatri pada berbagai jenis logam mulia.

"Lo ngomel macem gitu make sense kalo kita belum resmi. Udah telat. Ngerti?"

Alaric terdiam sebentar lalu meletakan cangkirnya, "Lo ga masalah sama hal ini?"

Andjani menggeleng santai tanpa memperhatikan Alaric, matanya masih memindai berbagai perhiasan koleksinya.

"Tante Magda lebih suka precious stones macem apa sih, Burik?"

Alaric memandangnya, "Beneran lo ga masalah?"

Gedikan bahu kembali Andjani berikan.

"Lo cinta ya sama gue?"

Seketika sebuah gelang dengan karat besar yang dihiasi berlian kuning melayang dan tepat mengenai dada Alaric.

"Shit, Nadja! Sakit!" seru Alaric tak terima.

Andjani tidak peduli dengan Alaric yang memandangnya marah. Dirinya lebih geram dari Alaric.

"Lo ngomong gue cinta lo lagi, awas!"

Alaric memelototinya, "Ga perlu kasar juga kali!"

Andjani menggeleng, "Perlu. Lo ngeselin soalnya. Sekaligus idiot!"

Alaric berdecak, melempar gelang itu ke meja Andjani, membuat koleksi yang sedang diamati Andjani buyar dan berserakan sebagian.

"Lo udah tau dari lama kalo gue ga pernah ngehargai lo, kenapa lo ga cepet-cepet usaha dulu buat batalin rencana keluarga? Gue ga punya suara di keluarga besar. Gue terhitung heiress, artinya hidup gue adalah agenda keluarga besar. Bukan semau gue! Lo ga pernah berusaha memahami keadaan gue ya?"

Alaric bungkam, lidahnya kelu.

Andjani menyambung, "Makanya gue langsung nemuin lo, dengan harapan lo bergerak dan cari cara supaya batal. Eh, lo ga nanggepin. Malah sibuk sama perasaan sendiri. Sibuk jatuh cinta sama ceweknya kakak sendiri."

Alaric berdecak.

"Jadi ga salah kan kalo gue bilang lo itu bodo? Baru protes dan mengeluh sekarang."

Alaric menunduk, "Gue kemarin udah ngomong ke Papa tentang perasaan gue sebenarnya terhadap pertunangan ini."

Andjani mendengus, "Hh! Dijamin yang lo dapet adalah ceramah panjang lebar."

Into You [F I N]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang