23: A Quest

284 24 1
                                    


(Hiiro's PoV)

—Kota Cerd—Malam Hari—

Kota ini adalah tempat di mana para Elf dan Warbeast berkumpul dan hidup bersama.

Tempat ini beda jauh dengan ibu kota, akan tetapi bukan berarti di sini akan terus makmur.

Manusia di sini akan diperlakukan mirip dengan bagaimana ras yang bukan manusia diberlakukan di negeri ini, hanya saja tempat ini masih belum terjangkau kekuasaan Babel.

Seperti biasa, tempat ini selalu ramai tiap harinya. Dengan patisserie sebagai pekerjaan umumnya dan dokter sebagai kedok khususnya, Lith mendapat banyak pengunjung tiap harinya.

Aku adalah salah satu pengunjung tetap. Itu semua karena aku masih belum melihat wajah Leiva bangun dari tidurnya.

Aku menaruh buah-buahan yang kupetik di hutan, walau mereka akan segera membusuk sebelum Leiva membuka matanya.

Diriku terpantul di cermin.

Dari balik mantel berkerudungku, aku bisa melihat wajahku yang separuh di bagian atas mulut tertutup sisik naga berwarna merah gelap.

Tinggi badanku yang setara dengan orang dewasa seperti Dewa Kematian. Punggungku terlihat sangat lebar karena sayap yang kusembunyikan.

Tangan kananku berubah jadi cakar, dan kedua kakiku juga tertutup oleh sisik di bagian lutut ke bawah, juga tersembunyi oleh mantel.

Penampilan yang setengah matang. Sama seperti kesiapanku waktu itu.

"Kau terlihat seperti Werebeast saja."

Tia mengatakan itu seakan dia mengerti.

Werebeast—ras yang memiliki bagian mirip manusia dan hewan. Mereka bisa berubah sepenuhnya menjadi hewan.

"Memang normalnya seperti ini, ya?"

"Hmm, jarang yang sampai sebelah seperti ini. Apalagi kita tak akan tahu apa yang akan mereka katakan ketika melihat sayapmu itu dan dirimu yang bersisik itu."

Kalau begitu tak ada pilihan lain selain bersembunyi.

Tak kusangka aku akan membayangkan sosok naga yang memakan Tia waktu itu.

Kekuatan yang mengubah pengguna menjadi wujud yang dibayangkannya. Aku penasaran siapa dulunya naga putih itu.

Yah, kurasa tak begitu penting. Habisnya, dia sudah 'mati'. Dia siap untuk hal itu.

Naga putih itu memiliki sayap menempel di tangannya, beda denganku yang ada di punggung.

"Oh ya, ngomong-ngomong kau tahu banyak hal juga, ya."

"Desaku terbuka bagi ras non-manusia dulunya. Tapi sepertinya para manusia mulai menginginkan kami dan memburu kami."

"Kenapa kau bisa berbicara soal itu seolah-olah kau baik-baik saja?"

"Karena aku tak suka. Karena aku tak suka itu, makanya aku berusaha untuk mengatakannya sebiasa mungkin. Hal ini tak jarang terjadi. Cerita seperti itu banyak didengar. Pada akhirnya, kau akan mendengar manusia dan kisah jahanam yang mereka lakukan seperti sebuah cerita rakyat."

Tia seharusnya membenci manusia lebih dari yang kukira. Berkat semua yang dialaminya, dia pasti sangat menderita.

Aku memutuskan untuk tak melanjutkan percakapan itu dan mengganti topik.

"Aku akan panggil Lith."

Mengatakan itu, aku turun melalui tangga, dan sampai di ruang pegawai. Semua pegawai sudah pulang jam segini, jadi hanya ada Lith bersantai sambil minum secangkir teh di sana.

Slave Liberators [Tamat]Where stories live. Discover now