21: The Truth Behind 'Course D'

283 23 2
                                    

(Leiva's PoV)

—Hari 7 menumpang di pondok Tempester—Puncak Gunung Thier—Malam hari—

Kesedihan karena kehilangan orang-orang yang dekat denganku... aku tak tahu bagaimana cara melampiaskannya.

Aku sendiri tak begitu paham apa yang aku lakukan. Akan tetapi, aku tak mau lagi ada orang yang dekat denganku mati.

Ketika aku melihat kondisi Hii yang bisa terbilang tak tertolong, aku rasa aku berpikir keras untuk mencari jalan keluar.

Sebuah kelereng... kelereng merah... ini adalah kelereng inti naga putih. Di saat itu, aku pikir aku menemukan jalan keluar yang keji.

Mengingat apa yang kulihat di dalam naga putih tadi, saat aku terguncang, sebuah sihir tak berelemen yang mungkin bisa menyelamatkan Hii bila dia memilikinya.

Aku memasukkan kelereng inti itu lewat perutnya yang terbuka. Benar-benar aku putus asa.

Aku mencoba mencari aliran sihir yang ada dalam Hii dengan alkimia, dan mencoba menyambungkan kelereng itu ke dalamnya.

Hii terus terlihat kesakitan ketika aku melakukan itu. Aku juga merasa sangat bersalah karena melakukan ini.

Meski aku belum bilang apa-apa soal sihir tak berelemen milik naga putih tadi, Hii langsung menggunakan sihir tak berelemennya.

"Lahaplah semuanya—Devour!"

Seperti dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Aku padahal sempat mendengar dari Al kemarin, kalau Hii bahkan tak tahu soal keberadaan dasar sihir, apalagi sihir tak berelemen miliknya.

Bagaimana dia bisa tahu? Ketika aku bertanya-tanya, Hii tiba-tiba memegang lehernya dan berteriak kesakitan.

"uwaaAAAKH!"

Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Teriakannya lebih terasa mencekam, seolah-olah aku sendiri bisa merasakan sakitnya.

Padahal sakit karena kehilangan Al dan Li sudah membuatku hampir putus asa sampai mau mati... sakit seperti apa yang Hii rasakan sekarang ini?

"Akh... AAAKH! Panas... tubuhku... rasanya mau... meledAAAKH!"

"Hii!"

Aku langsung memeluk Hii, dan mencoba menenangkannya.

Ternyata Hii sebesar ini, akan tetapi sifatnya agak kekanak-kanakan seperti ini ya... kurasa memang laki-laki seperti itu.

Aku menepuk kepalanya, dan Hii menjadi sedikit lebih tenang.

"Tenanglah. Tenanglah dan dengar."

"aa... AAAH! HaAH..."

Darah terus keluar dari perut Hii... membasahiku juga. Entah kenapa, darah itu sangat panas.

Apa suhu tubuhnya meningkat? Apa karena kelereng naga putih tadi? Hii tadi berteriak sakit karena kepanasan, jadi kurasa iya.

Kalau memang begitu, berarti itu salahku.

"Ini adalah tanggung jawabku telah menyarankanmu untuk bertahan hidup... sehingga kau tersiksa seperti ini..."

"uh... Huft... UGAAAH!"

Hii masih saja berteriak kesakitan tak jelas. Telingaku hampir hancur saat dia tiba-tiba melakukan itu.

Akan tetapi, aku tetap memeluknya erat.

"Aku ini egois... aku ingin kau tetap hidup supaya aku tak sendiri... padahal mungkin akan lebih mudah kalau kau mati begitu saja ya..."

"Hwaaah... GUAAA!"

Slave Liberators [Tamat]Where stories live. Discover now