Twenty Two Reason

Start from the beginning
                                    

"Betul apa kata Papa, Yas. Kelihatannya Annisa juga suka sama kamu. Kalau memang mau, kita bisa segerakan," tambah Mama.

Hatinya semakin panas. Pikirannya semakin kacau. Kelelahan selesai rapat dan syuting video, menjadi salah satu alasan amarahnya kian memuncak. Sebisa mungkin Yassar menahannya.

"Ma, aku gak mau. Terserah Papa mau bilang kalau Annisa anak orang ternama atau apa pun itu, tapi aku tetap gak bisa."

"Kalau kamu ndak cinta, nanti setelah menikah lama-kelamaan perasaan cinta itu bisa tumbuh," tegas Mama.

"Betul itu. Apalagi Annisa cantik, pintar masak juga," tambah Papa.

Tanpa sadar Yassar menggebrak meja. Membuat kedua orang tuanya terdiam.

"Astagfirullah. Maaf, Ma, Pa. A-aku ndak sengaja. Padahal sudah berusaha nahan emosi. Aku ndak mau sama Annisa bukan karena gak cinta. Tapi ada perempuan lain yang sedang aku perjuangkan," ucapnya.

Yassar berniat pergi dari obrolan malam yang membuatnya gerah. Namun, Mama menahannya. Terlihat matanya berbinar, baru kali ini dia melihat pancaran harapan dari mata Mama setelah kepergian Aisha.

"Alhamdulillah. Siapa namanya? Tinggal dimana? Apa kuliah juga? Bagaimana wajahnya? Pintar masak juga? Ap—"

"Ma," potong Yassar. "Aku ndak bisa cerita sekarang. Aku masih belum berani. Nanti kalau segala pertimbangan sudah matang, aku pasti ngomong. Aku ndak tahu bagaimana wajahnya, bisa masak atau ndak. Toh bukan itu juga yang aku cari," jelasnya.

Yassar benar-benar kehabisan kata, dia tidak mau menceritakan soal Sabiya saat ini. Waktunya belum tepat, dia masih belum berani melangkah lebih jauh lagi. Terlalu banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Terlalu banyak persiapan yang belum matang.

"Apa? Ndak tahu rupanya bagaimana maksudnya? Jangan bicara soal jodoh yang masih di tangan Allah, kalau ndak dicari ya ndak bakal ketemu," ujar Papa. Pandangan matanya tidak sama seperti Mama. Ada kekecewaan yang terpancar.

"Aku baru kenal dia sebatas chatting, Pa. Jadi, apa yang yang harus aku jelaskan sama kalian? Nanti, kalau aku sudah siap, pasti aku datang temui dia."

"Apa ndak bisa kalian pacaran dulu sebelum ke tahap yang lebih serius? Apalagi ini baru kenal di dunia maya," tanya Papa.

"Astagfirullah, Pa. Aku ndak mau menjemput jodoh dengan cara seperti itu. Biarkan Allah yang menjadi sebaik-baik pengatur rencana. Toh aku juga berusaha agar bisa menyegerakannya. Aku minta Papa dan Mama sabar, sampai aku benar-benar siap segalanya."

Kali ini Yassar benar-benar pergi ke kamar setelah mengakhiri obrolan dengan orang tuanya.

Yassar melempar tas ke sudut tempat tidur. Menjatuhkan tubuh di dekatnya. Matanya terpejam, dengan napas meburu. Hari demi hari terasa semakin berat.

Perasaannya tak karuan. Ingatannya tiba-tiba menelusur masa lalu. Sudah hampir lima bulan Yassar tidak menerima kabar apapun tentang Sabiya. Namun, tetap saja harapan itu masih ada. Yassar tidak bisa membohongi hatinya, dia masih ingin berjuang untuk Sabiya, meski rasanya sulit.

Obrolan dengan orang tuanya perihal pernikahan semakin menggema dalam pikiran. Yassar juga ingin menyegerakan, tapi saat ini dia belum siap. Kuliahnya masih semester tiga. Soal uang saja masih belum bisa mandiri, bagaimana bisa dia punya keberanian meminta Sabiya menikah dengannya.

Tapi, tiba-tiba saja dia teringat perkataaan Ustaz Salim ketika mengisi kajian di masjid kampus.

"Menikah bukan hanya tentang siapnya uang dan segala macam materi lainnya. Tapi, kesiapan untuk meraih syurga bersama. Belajar bersama. Matangkan pertimbangan niat serta usaha, Allah akan membantu hamba-Nya."

Yassar bangkit dan duduk bersandar, mengambil ponsel di dalam tas.

Tidak ada salahnya mencoba.

Dia mencari kontak Sabiya. Setelah berpikir cukup lama, Yassar memberanikan diri mengirim pesan singkat.

"Lho?"

Pesannya tidak terkirim. Kontak whatsapp-nya diblokir oleh Sabiya. Yassar mencoba mengirim menggunakan aplikasi Line. Sayangnya, kontak perempuan itu tidak ada. Sepertinya Sabiya menghapus akun.

"Coba instagram," ucapnya.

Lagi-lagi pengguna memblokir pertemanan dengannya. Sepertinya Yassar harus menghubunginya langsung. Dia berusaha men-dial nomor Sabiya berkali-kali. Namun, jawaban yang didapatnya tetap sama.

"Nomor yang Anda tuju tidak aktif."

Yassar termenung. Bagaimana ini? Dia tidak bisa lagi menghubungi Sabiya. Apa perempuan itu membencinya, atau dia sudah menemukan laki-laki lain?

Memikirkan hal itu membuat Yassar semakin kacau. Kenapa bisa sampai seperti ini. Apa ini artinya dia harus menyerah?

Yassar menutup wajah dengan kedua tangannya. Cairan hangat mengalir membasahi pipi. Saat ini dia benar-benar merasa kacau.

Kalau kamu sudah menemukan yang lain. Tolong bilang. Itu kesepakatan kita 'kan?

The ReasonWhere stories live. Discover now