Setelah melakukan konsultasi dengan ustaz Syamil, Yassar semakin memantapkan niatnya untuk taaruf dengan perempuan pilihannya. Semua dukungan dan saran dari guru spiritualnya itu menambah keyakinan dan keberaniannya untuk mencoba selangkah lebih dekat.

Harap-harap cemas dia masih menunggu, meski tidak bisa dipungkiri rasa lelah mulai menyapa. Yassar sudah mengirim pesan pada Sabiya sejak kemarin malam, namun tak kunjung mendapat balasan. Dia juga tidak memiliki kontak teman perempuan itu. Saat ini hanya doa yang terus ia lantunkan, semoga Allah memudahkan jalannya.

Waktu terus berlalu, sudah hampir dua jam dia masih berdiri dan tak kunjung bertemu dengan orang yang dimaksud. Yassar hampir putus asa dan memilih untuk kembali ke rumah. Mungkin Sabiya memang sudah melupakan dirinya. Jelas saja, hanya seseorang yang kenal lewat dunia maya tanpa tahu rupanya, bagaimana mungkin perempuan itu masih menunggu setelah setahun berlalu tanpa kabar.

Mau bagaimana lagi, terus menunggu di depan gedung ini pun belum tentu mendapatkan hasil yang dia harapkan. Daripada terus menunggu, lebih baik dia kembali ke rumah dan menenangkan pikiran sejenak.

"Lho, Yassar?"

Dia berbalik, tatapannya bertemu dengan sosok perempuan yang kelihatannya terkejut akan kehadiran dirinya. Yassar hendak menyapa, namun dia lupa nama perempuan di hadapannya.

"Ashila. Kamu ngapain di sini?" tanyanya.

Yassar terlihat ragu, dia menggaruk kepala. "Uhm, anu... Sabiya mana ya?"

"Sabiya? Dia lagi pulang ke Bandung," ujarnya.

Matanya membulat, dia tidak tahu hal seperti ini akan terjadi. Kenapa? Katanya dia satu tahun di sini, lagipula musim ujian belum dimulai, kenapa dia sudah pulang?

"Pulang? Kenapa? Bukannya dia juga lagi kuliah di sini?"

Ashila mengangguk. "Benar. Tapi kemarin dia pulang dulu, katanya sih mau ada yang melamar," ucapnya seraya tersenyum jahil.

Degub jantungnya tidak lagi seirama, terlalu kaget, terlalu cepat, ada apa ini sebernarnya. Apa dia sudah kalah? Yassar tidak tahu lagi harus bagaimana. Saat ini lututnya lemas, seolah tidak bisa menahan beban tubuhnya.

"Oh. Terima kasih infonya." Dia pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan lagi.

Sayup-sayup terdengar Ashila memanggil namanya, namun Yassar tidak bisa lagi berbalik. Saat ini yang ada dipikirannya adalah cepat sampai rumah. Ada bangunan yang hancur di dalam hatinya, seolah dirombak habis. Harapannya hilang begitu saja. Rasa menyesal mulai berdatang silih berganti untuk menyapanya. Menyesal kenapa tidak sejak awal dia tahu kalau Sabiya berada di sini, kenapa tidak sejak awal menyadari hal itu dia langsung menemui Sabiya dan memberitahu kalau Daris itu sebenarnya dirinya. Sekarang setelah kabar itu terdengar, Yassar tidak bisa apa-apa.

Langkahnya menuju parkiran terasa berat, pikirannya tidak terkontrol. Satu informasi yang masuk tadi ternyata mampu merusak sistem pikirannya. Seolah mengobrak-abrik segala rencana yang sudah disusun secara matang. Harapan dan keyakinan seolah pupus begitu saja. sekarang apa lagi yang harus dia lakukan jika sudah ada yang lebih cepat untuk melamar Sabiya?

Yassar merasa tidak berdaya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Motornya melaju di tengah keramaian, namun suara bising itu terdengar senyap. Pikiran di kepala jauh lebih berisik. Bahkan berkali-kali ponselnya berdering pun dia abaikan.

Butuh waktu lebih lama untuk sampai di rumah ketika jalanan padat merayap. Yassar memutuskan untuk singgah di sebuah masjid sebelum meneruskan perjalanan pulang.

Dia ingin marah, namun sadar semua adalah kesalahannya karena sudah terlalu menyimpan harap kepada perempuan itu. Tapi dia sudah berusaha menggantungkan harapan dan menyerahkan semua pada Allah, krnapa ini yang didapatkannya sekarang?

Apa Allah tidak adil?

"Astagfirullah." Yassar mengusap wajah, dia harus berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif yang datang menghampiri.

Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk untukmu. Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.

Yassar harus selalu ingat ayat tersebut. Iya, bisa jadi ini memang yang terbaik menurut Allah. Dia harus menerima semua dengan ikhlas.

Notifikasi pesan dari Nizar muncul ketika dia menyalakan ponsel, selain itu ada lima panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.

Nizar: Yas ada panggilan job dari Bandung untuk besok lusa. Tempatnya di masjid Al Furqon UPI. Gimana? Mendadak emang.

Pesan itu membuatnya terkejut sekaligus membuka kembali harapan yang sempat meredup. Mungkin saja dia bisa berusaha sekali lagi.

Ya. Sekali lagi, untuk memastikan.

The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang