"Kenapa pilih pertukaran ke UM, Bi? Maksudku, rasanya banyak tuh kan kampus-kampus lain," tanyanya.

"Gak tahu juga sih, ya," jawabnya diselingi tawa. Mana bisa Sabiya memberitahu alasan sebenarnya.

Annisa tidak lagi menanyakan alasannya. Ia justru memilih mengalihkan pembahasan tentang kebingungannya. Katanya, dia sudah lama mengharapkan seorang laki-laki yang tak lain adalah teman semasa SMA. Namun, dia rasa laki-laki itu masih membencinya karena kesalahan di masa lalu.

"Dulu aku gak kayak gini, Bi. Bahkan dulu aku pernah nyuruh orang buat coba minum alkohol. Aku minta dia ngelakuin itu sebagai bukti kalau dia benar-benar menyukaiku," jelasnya.

Annisa melanjutkan ceritanya. Setelah kelas dua SMA, mereka berbeda kelas, sehingga jarang bertemu meskipun arah rumah mereka sama. Laki-laki itu selalu menghindarinya dan tidak lagi mau menyapa. Kemudian, setelah memasuki dunia perkuliahan, Annisa pertama kali mengubah penampilan dan menuruti perintah ayahnya yang seorang ustaz. Dia tidak pernah lagi membantah, dan terus berusaha untuk berubah menjadi baik.

"Setelah kuliah aku jarang bahkan bisa dibilang gak pernah lihat dia lagi, Bi. Waktu itu pernah sekali ketemu di masjid, dan benar dugaanku kalau dia masih menghindar."

Sabiya masih diam mendengarkan. Dia sempat heran, bagaimana Annisa begitu percaya sampai menceritakan masalah pribadinya. Hal itu membuat Sabiya merasa memiliki amanah untuk menjaga rahasia saudara muslimnya.

"Kalau menurut aku sih, Nis, sekarang gak usah lah kamu mikirin dia masih benci atau enggak. Yang penting kamu udah minta maaf dan menyesali kesalahan di waktu dulu. Kalau soal perasaan masih mengharapkan, coba gantungkan harapan itu hanya pada Allah. Kalau memang jodohnya, insyaAllah bakal bersatu kok," jelas Sabiya. "Lagipula Allah yang lebih tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya."

Annisa mengiyakan. "Makasih lho, Bi, udah mau dengerin curhatan aku dan ngasih solusi."

Mengobrol dan bercerita banyak hal membuat mereka lupa waktu. Saat ini sudah hampir jam sebelas malam, sehingga keduanya memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Sebelum benar-benar memejamkan mata, Sabiya menoleh pada teman baru yang duduk di sampingnya. Dia berdoa semoga laki-laki yang diharapkan oleh Annisa bisa membuka hati kembali setelah melihat perubahan perempuan itu.

▲▽▲

Pukul satu siang kereta yang membawanya dari Malang tiba di stasiun Bandung. Sebelumnya Sabiya sudah menghubungi Rais agar menjemputnya.

"Dijemput, Nis?"

Annisa menggeleng. "Aku naik ojol aja sepertinya. Soalnya gak akan ada yang mau jemput. Ada sih adik laki-lakinya, tapi pasti gak mau."

Mereka berdua duduk sejenak untuk mengistirahatkan badan yang pegal, karena seharian duduk di kursi kereta. Sungguh perjalanan panjang yang cukup melelahkan.

Sabiya masih menunggu telepon dari kakaknya, katanya kalau sudah sampai staiun dia akan menghubungi.

"Kakak kamu udah ada, Bi? Nanti bareng aja ya keluarnya," ucap Annisa.

"Belum. Kayaknya masih di jalan deh."

Tak lama kemudian ternyata ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Rais, membuat mereka berdua langsung menuju keluar stasiun.

Di sana terlihat Rais dengan pakaian santainya, benar-benar tidak berubah.

"Hei, Dek. Apa kabar?" tanyanya seraya mengambil tas besar yang dibawa Sabiya.

"Baik, Mas, Alhamdulillah. Oh ya, Mas. Kenalkan ini Annisa, teman baruku. Ketemu di kereta gara-gara satu kursi."

Rais menatapnya sejenak dan tersenyum singkat. "Hai Annisa, saya kakaknya Sabiya."

Annisa membalas sapaannya dengan tak kalah singkat.

"Ayo, Dek. Buruan kita pulang dulu baru ke rumah sakit," ajaknya.

Sabiya pamit untuk pulang duluan. Sebab Annisa terlihat masih menunggu ojol pesanannya.

"Nanti kabar-kabari ya, Nis," ucapnya sebelum masuk ke dalam mobil.

Sabiya bisa sedikit bernapas lega. Akhirnya dia pulang dan akan bertemu keluarganya. Meskipun kenyataannya nanti dia harus kembali ke Malang untuk menyelesaikan program, setidaknya saat ini dia bisa bertemu Ibu dan melepas rindu.

▲▽▲

Follow me on instagram: @radivyaa (double A)

The ReasonWhere stories live. Discover now