Twenty Fifth Reason

Comenzar desde el principio
                                    

Dhabith Muyassar. Youtuber dakwah yang selama ini membantu menambah wawasan sejarahnya. Sabiya yang tidak terlalu suka mendalami sejarah dengan cara membaca, sehingga dia merasa beruntung bisa mengenal Dhabith. Laki-laki itu sangat piawai mengemas materi sejarah sehingga tidak monoton. Sepertinya dia sangat menyukai tentang sejarah. Sabiya jadi ingat seseorang, Daris juga menyukai sejarah, beberapa waktu dia seringkali membicarakan tentang sejarah.

"Hati-hati lho, ya. Kagumnya dijaga," ucap Ashila mengingatkan.

Sabiya mengangguk. Dia paham betul bagaimana perasaan kagum bisa menjadi racun yang membutakan hatinya. Dari posisinya Sabiya tidak dapat melihat jelas banner yang dipajang di depan. Selama ini dia belum pernah melihat wajah Dhabith, meskipun dalam video dakwahnya.

Kemarin juga dia hanya membaca informasi kajian di official account tanpa melihat poster yang ada fotonya.

Eh, lagipula kenapa sekarang Sabiya merasa penasaran dengan wajah Dhabith? Tidak boleh. Tidak boleh ada rasa penasaran seperti itu, bisa-bisa nanti dia malah jadi stalker.

Beberapa orang berdatangan, semakin lama semakin memenuhi ruangan. Suara cek sound dari pembawa acara mulai terdengar. Sabiya membenarkan posisi duduknya senyaman mungkin.

"Udah mau mulai, Cil," ujarnya.

Ashila mengangguk, turut mencari posisi nyaman. Menyiapkan ponselnya untuk merekam, tak lupa buku catatn kecil yang sengaja disiapkannya untuk menuliskan poin-poin penting.

"Eh, Sa. Tahu gak, Dhabith itu anak UB lho."

Sabiya menatap teman barunya, "Serius?"

Ashila mengangguk. Dia menceritakan bahwa dulu ketika masih semester tiga, Dhabith juga pernah menjadi pembicara salah satu talk show di kampusnya. Selain itu, Ashila mengatakan bahwa youtuber dakwah itu satu ngkatan dengan mereka. Sabiya mengiyakan informasi itu tanpa terlalu mnghiraukannya. Karena suara Dhabith mulai menyapa dengan salamnya.

"Saya senang bisa bersilaturahim dengan teman-teman di sini. Ini kali kedua saya mengisi acara di Universitas Negeri Malang. Ternyata teman-teman yang hadir lebih banyak dari ekspetasi saya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih antusias teman-teman semua."

Riuh tepuk tangan terdengar.

Sabiya mendongak tepat ketika Dhabith berdiri dari tempat duduknya, dan melangkah maju untuk menyapa peserta.

"Itu Dhabith, Cil?" tanyanya berbisik.

Ashila mengangguk. "Ganteng 'kan. Seumuran kita lagi. Dia lumayan terkenal di kalangan ukhti-ukhti di sini, apalagi di kampusnya."

Sabiya terdiam, larut dalam lamunannya. Rasanya dia pernah melihat orang itu, tapi dimana. Wajahnya terlihat tidak asing. Sabiya yakin selama ini belum pernah menatap wajah Dhabith dalam layar monitor, atau sekadar melihat foto-fotonya di google.

Mungkin hanya perasaannya saja.

Saaiya mengesampingkan pikirannya, kembali fokus ketika suara Dhabith mulai terdengar.

"Hari ini saya diminta untuk mengisi di acara Talk Show dengan tema Putus Terbaik Adalah Menikahi. Awalnya saya ingin menolak setelah diberitahukan temanya, lah wong saya belum menikah."

Seketika ruangan dipenuhi gelak tawa.

"Tapi, saya diminta untuk berbagi pengalaman tentang bagaimana menjadi jomblo yang baik dan benar. Tenang saja, perihal pernikahan nanti akan disampaikan oleh pemateri hebat yang saat ini hadir bersama saya."

Dhabith menyapa seorang laki-laki yang sedang duduk. Orang itu terlihat melempar senyum dan melambaikan tangan.

Wah, itu kan Alvin, suaminya Larissa. Jadi beliau guess star-nya. Padahal Sabiya datang ke kajian ini karena ada Dhabith, baru kali ini dia bisa mengikuti perbincangan dengan youtuber dakwah itu secara langsung. Ternyata ada pembicara yang tak disangka-sangka.

"Wih ada Alvin juga, Sa. Keren nih," ujar Ashila antusias.

Sabiya mengiyakan. Namun, pikirannya kembali melayang ketika tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Dhabith.

Benar, tidak salah lagi. Itu adalah orang yang bertabrakan dengannya tadi ketika berjalan menuju masjid.

Matanya terbelalak. Sabiya sontak memegang keningnya. "Astagfirullah, jadi yang tadi itu Dhabith," gumamnya.

▲▽▲

Satu tahun sebelumnya.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Sudah satu jam lebih Sabiya duduk di depan ruang rapat, ditemani Rida yang saat ini sedang sibuk dengan laptop di pangkuan.

"Kamu pupang duluan saja, Rid," ujarnya.

Sabiya merasa tidak enak Rida ikut menunggui pengumumannya. Bahkan ketika dia sedang dituntut mengerjakan tugas kuliah. Namun, lagi-lagi Rida menggeleng.

"Nanti, sebentar lagi. Kalau pengumumannya udah ada, Rida langsung pulang deh. Ini sekalian wifi-an juga," jawabnya.

Hari ini seharusnya Sabiya pulang ke rumah, sebelum dia mendapatkan pesan dari salah satu asisten dosen yang memberitahukan bahwa pengumuman Exchange Program akan diinformasikan hari ini. Mendengar hal itu Sabiya langsung berangkat ke kampus, dan mengirim kabar kepada Rida. Tanpa disangka ternyata temannya itu sudah menunggunya di depan gerbang.

"Ada Sabiya?"

Suara itu terdengar setelah seseorang membuka pintu. Sontak Sabiya menoleh, terlihat orang yang dikenalnya itu membawa sebuah amplop cokelat.

"Ini bukan CV-CV-an lagi 'kan," gumamnya merasa takut sekaligus geli.

Niat baik dari Ihza saja pada akhirnya tetap dia tolak, meskipun awalnya sempat ragu karena ketika bertanya kepada ketua bidangnya di UKDM, Teh Windi bercerita bahwa Ihza adalah sosok calon suami idaman. Sayangnya bukan hanya itu saja yang Sabiya cari. Mungkin hatinya memang sudah tenggelam kepada hal yang tidak seharusnya. Dia masih menunggu seseorang yang mungkin seharusnya mulai bisa dia ikhlaskan.

"Hei, Sabiya. Nih hasil pengumumannya," ujarnya seraya memberikan amplop di tangan.

"Terima kasih, Kang Galih."

Sabiya menerima amplop yang diberikan Galih. Terlihat Rida segera menyimpan laptop di atas kursi, tak sabar menanti Sabiya membuka isinya.

"Ayo buka sekarang, Bi," ujarnya antuias.

Padahal, Sabiya merasa deg-degan. Entah bagaimana hasilnya, kalaupun diterima, tetap saja dia bingung. Apakah Sabiya harus mengambil kesempatannya ke Malang, atau menolaknya. Namun, dia ingat ketika menelepon Bapak malam itu.

"Boleh. Bapak sama Ibu bakal dukung Teteh. Sayang kalau kesempatannya dilewatkan begitu saja."

Penggalan kata-kata Bapak menggema dalam ingatan. Sabiya mulai merobek sisi amplop perlahan, mengeluarkan kertas putih di dalamnya. Membukanya, hingga terlihat kop surat, kemudian kata pembuka. Sampai pada tengah tulisan, satu kata yang membuatnya menahan napas.

Lulus.

Sabiya masih mematung, sedangkan Rida sudah memeluknya dari samping, berulang kali mengucapkan kata selamat.

Peluang untuk bertemu Daris seolah terbuka lebar. Namun, Sabiya memutuskan untuk tidak terlalau berharap. Bagaimana pun, niatnya ke Malang adalah untuk belajar. Seperti yang Rais katakan, kalau pun nanti di sana dia bertemu Daris, anggap saja itu adalah bonus.

Mulai tahun depan, kehidupannya di kota Apel akan dimulai.

▲▽▲

The ReasonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora