"Ayo nyanyi bareng-bareng. Pada lupa lagi nih, ya," ujar Sabiya menunjukkan jemarinya untuk berhitung.

"Adam, Idris, Nuh, Hud, Soleh ...." Sabiya menghentikan suaranya.

"Ibrahim," sahut Fikri menunjukkan jarinya.

"Jadi, Nabi ke berapa?" tanya Sabiya lagi.

"Keenam," jawab mereka serentak.

"Pintar." Sabiya menjentikkan jarinya. Dia mulai melanjutkan cerita. "Ibu Nabi Ismail bernama Siti Hajar. Dulu, waktu Nabi Ismail lahir, ayahnya memindahkan Nabi Ismail dan ibunya ke tengah padang pasir di Mekah. Terus, Nabi Ibrahim meninggalkan mereka berdua, karena dia harus kembali ke Palestina. Di per—"

"Kenapa Nabi Ibrahim ninggalin anaknya, Teh? Nabi Ibrahim jahat, ya?" tanya Anjani yang duduk di samping Reika.

"Bukan gitu. Nabi Ibrahim pulang ke Palestina untuk menemui Siti Sarah—istri pertamanya. Jadi, saat Nabi Ismail lahir, Siti Sarah merasa cemburu dan menyuruh Nabi Ibrahim untuk memindahkan Ismail dan Siti Hajar ke tempat yang jauh," jelasnya.

"Cemburu itu apa, Teh?" tanya Ihsan.

Ihsan adalah anak yang pendiam. Dia tidak banyak bicara. Saat teman-temannya bermain, dia hanya duduk dan membaca buku. Rasa ingin tahunya juga begitu tinggi.

"Cemburu itu ... sama kayak iri. Jadi, Siti Sarah iri karena Siti Hajar sudah mempunyai anak, yaitu Nabi Ismail."

Ah, Sabiya merasa gagal menjadi seorang pendongeng. Dia tidak bisa memilih kata-kata yang pas untuk diucapkan pada anak-anak seusia mereka. Pantas saja dulu ketika micro teaching, ustaz Hanif mengatakan dia lebih cocok di kelas atas.

Mereka mengangguk mendengar penjelasan Sabiya. Semuanya kembali terdiam dan memerhatikan gadis yang kerap mereka panggil Teh Iya. Awalnya Sabiya tidak suka dengan panggilan itu, tapi lama-kelamaan dia mulai terbiasa dan tidak mempermasalahkan perihal nama panggilan.

"Nah, di perjalanan pulang, Nabi Ibrahim terus berdoa sama Allah. Memohon keselamatan untuk anak dan istrinya," jedanya. Sabiya mengalihkan pandangannya pada setiap anak sebelum melanjutkan. "Pada suatu hari, makanan mereka habis. Siti Hajar kesusahan mencari air ke sana kemari. Akhirnya, Allah menolong mereka. Melalui malaikat Jibril munculah mata air yang bening di dekat Nabi Ismail. Mata air itu yang saat ini kita kenal sebagai sumur zamzam."

Menghentikan ceritanya, anak-anak itu menatap Sabiya.

Reika mengerutkan dahinya, "Terus, Teh?"

Tadinya Sabiya pikir salah satu dari mereka akan antusias saat mendengar kata sumur zamzam. Namun, tidak ada yang bertanya. Hingga Sabiya melanjutkan ceritanya.

"Ketika Nabi Ismail sudah besar, Allah memberi perintah pada ayahnya lewat mimpi. Mimpi itu berisi perintah bahwa Nabi Ibrahim harus menyembelih anaknya. Dia sangat sedih, tapi sebagai orang yang saleh dan taat Nabi Ibrahim berniat menjalankan perintah itu. Kemu—"

"Nabi Ismailnya di-peuncit?" (sembelih) potong Fikri, tatapan matanya membulat.

"Iya. Nabi Ibrahim bilang sama anaknya, kalau dia dapat perintah itu dari Allah. Coba, apa yang Nabi Ismail bilang ke ayahnya waktu itu?" tanya Sabiya menggerakkan jari telunjuknya.

The ReasonWhere stories live. Discover now