Ketika malam tiba, terkadang matanya terpejam, namun kepalanya terasa berat.

Matanya ingin beristirahat, tapi pikirannya mengoceh tanpa henti. Perdebataan antara mata dan pikiran, itu yang membuat Sabiya merasa pusing.

"Bi, udah beres?"

Sabiya mengalihkan pandangannya. Menatap Nisa yang berdiri di dekat pintu.

"Belum," ujarnya.

Santai, sesekali melirik penanda waktu yang melingkar di tangan kirinya. Sabiya kembali menulis. Mengerjakan tugas di sekre UKDM sudah menjadi kebiasaannya sejak beberapa minggu yang lalu. Meski tidak luas, tapi tempat ini cukup nyaman.

Menunggu pergantian mata kuliah, biasanya dia akan betah berlama-lama di masjid Al-Furqan. Namun, tak jarang gadis dengan mata sayu itu mnghabiskan waktunya di sekre.

"Aku duluan, ya. Ada kelas pagi. Kamu berani di sini sendiri?"

Sekretariat UKDM tidak terlalu besar. Ada satu lemari berisi piagam, plakat, dan beberapa penghargaan lainnya. Di bawahnya terdapat rak yang dipenuhi dengan jajaran buku. Di samping lemari itu ada lemari besi, berisi pipa yang biasanya digunakan sebagai penyangga hijab dan juga beberapa kain hijabnya. Selain itu, di dalamnya terdapat beberapa alat dapur, seperti pisau, piring, panci, dan lainnya. Di atas lemari ada beberapa spanduk dan banner yang terlipat rapi. Di samping pintu ada sebuah loker yang berisi berkas dan data-data penting milik UKM yang bergerak di bidang dakwah ini.

Setelah melihat ke sekelilingnya, dan terdiam sejenak. Sabiya rasa dia akan baik-baik saja. Meski tahu letak sekre di paling ujung, berhadapan dengan sekre UKM perfilman yang dikenal dengan nama Satu Layar.

"Iya, Nis. Berani kok, ini."

Sabiya mengacungkan dua ibu jarinya untuk meyakinkan.

Nisa mengangguk dan menutup pintu setelah mengucapkan salam.

Kini tinggal Sabiya sendiri. Bersama hembusan angin yang datang dari ventilasi di atas pintu.

Takut.

Sebenarnya hal itu tidak bisa ditepis dari pikirannya.

Sabiya penakut.

Satu kenyataan yang tidak diketahui banyak orang.

Suara ramai dari luar membuat Sabiya sedikit tenang. Dia kembali menyibukkan diri. Berkutat dengan buku dan lembaran kertas. Membaca, kemudian menuliskan bagian-bagian penting yang dirasanya perlu untuk dicatat. Tugas membuat resume mata kuliah Ulum Hadits baru bisa dia kerjakan saat ini, setelah cukup lama menundanya.

Menjadi mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Arab, membuat gadis berusia penghujung angka belasan itu harus belajar lebih. Latar belakangnya yang merupakan lulusan SMA dengan pelajaran Bahasa Arab yang tidak terlalu mendalam, membuatnya cukup kesulitan untuk mengejar ketertinggalan. Apalagi di semester dua ini, Nahwu dan Sharaf sudah harus dipahaminya sedikit demi sedikit.

"Assalamualaikum, siapa di dalam?"

Ketukan pintu dan panggilan itu membuat Sabiya mendongak. Dia segera membereskan lembaran kertas yang berserakan, juga buku paket yang menjadi sumber materinya.

"Waalaikumsalam. Ini Sabiya."

Di balik pintu yang belum terbuka, seorang lelaki berbicara pada temannya. Sesaat kemudian suaranya terdengar meminta bantuan.

"Oh, Sabiya. Ini Kang Aqil, mau minta tolong carikan berkas anggota PT 32 yang kemarin ikut TMR, ya."

"Sebentar."

Sabiya membuka loker yang ditempeli kertas putih bertuliskan Data Anggota.

"Kang, kayaknya datanya gak ada di sini. Adanya yang PT 31 sama PT sebelumnya," ujarnya dari dalam. Pintu masih tertutup, dengan dua orang lelaki di luarnya.

"Ah, Kang Ihza datanya dimana, ya?"

Aqil mengalihkan pandangan pada lelaki di sampingnya.

Orang itu menggeleng. "Akang gak tau, Qil. Tadi Teh Windi bilang ada di sekre. Mana Akang lagi butuh banget lagi."

Di dalam sana Sabiya sedang merapikan dan memasukan bukunya ke dalam tas.

"Boleh gak Kang Aqil cari sendiri aja? Saya sebentar lagi ada kelas soalnya."

Gadis itu sudah siap keluar dengan tas ransel yang tersampir di bahu kirinya.

"Punten, Kang. Saya mau keluar."

Sebelum membuka pintu, Sabiya memastikan Aqil memberi jarak untuknya. Akan menjadi awkward moment kalau Sabiya membuka pintu dengan tiba-tiba, dan Aqil berada di depannya secara langsung.

"Oke, mangga."

Decitan pintu terdengar, beriringan dengan Sabiya yang berjongkok untuk mengambil sepatunya. Tak jauh dari tempatnya, berdiri dua orang lelaki. Aqil salah satunya, namun Sabiya tidak sempat melihat yang satunya lagi. Lagipula dia memang tidak berniat melihatnya.

Setelah selesai memakai sepatu, Sabiya beranjak keluar dari gedung PKM. Berjalan menuju FPBS yang letaknya tidak jauh dari tempatnya saat ini. Langkahnya berat, pengaruh dari rasa kantuk yang masih menyerangnya.

Kesibukan beberapa hari ini, membuat gadis dengan balutan gamis dan kerudung maroon itu kepayahan mengatur waktunya. Terutama waktu istirahatnya terasa berkurang.

Memilih menjadi aktivis, bukan tanpa alasan. Sabiya memiliki beberapa alasan untuk menyibukkan dirinya.

Alasannya ....

Sabiya tidak ingin kuliahnya hanya sekadar kupu-kupu. Kuliah–pulang–kuliah–pulang, siklus ini disematkan pada mereka yang langsung pulang setelah jam kuliah selesai, bahkan tidak mengikuti satu pun UKM yang ada. Sejak SMP gadis yang kerap dipanggil Biya ini senang berorganisasi, menambah pengalaman yang tidak didapatnya di dalam kelas. Selain itu, saat ini Sabiya ingin mempunyai banyak teman yang mendekatkan dia kepada-Nya.

Jika teman-teman itu dapat mendekatkanmu kepada-Nya. Maka tetaplah bersama mereka. Namun, jika kehadiran mereka menjauhkanmu dari-Nya. Maka tinggalkanlah.

The ReasonWhere stories live. Discover now