Chapter 32 : POV Keenan

203 28 9
                                    

Satu bulan berlalu. Pada akhirnya bocah laki-laki yang waktu itu bertemu denganku di salah satu kafe tempat dimana aku ingin bicara empat mata sama Rissa, malahan sekarang dia ikut denganku. Tak hanya itu, dia benar-benar permanen tinggal sama aku disini.

Astaga..

Aku sendiri tidak menyangka kalau akhirnya mungut anak yang sebenarnya tidak tahu asal usulnya. Belum lagi Shafira menyukai anak ini dan menganggapnya sebagai Kakak.

Anak laki-laki ini namanya Angga. Usianya memang baru 8 tahun. Jika pada akhirnya aku terpikir untuk menjadikannya anak angkat, maka cepat atau lambat aku juga akan menyekolahkannya.

"Assalamu'alaikum, Om?"

"Wa'alaikumussalam. Angga?"

Aku melihat Angga baru saja pulang dari mesjid. Wajahnya terlihat ceria karena sebelumnya dia sempat bilang kalau dia baru pertama kalinya bisa melakukan sholat di mesjid. Bayangkan saja, sejak kecil hidupnya sudah dijajah untuk di jadikan pengamen pinggir jalan. Tidak pernah bisa merasakan sholat di mesjid bahkan untuk sholat di rumah pun bisa bolong-bolong.

"Aku sudah pulang dari mesjid Om. Boleh aku makan siang?"

"Hm, boleh,"

Aku melihatnya menuju dapur. Sejauh ini dia memang anak yang baik dan amanah meksipun cara bicaranya sedikit menyebalkan. Mau jengkel tapi aku berusaha untuk memaklumi. Mungkin karena dia tidak pernah di didik berbicara sopan santun sama orang tua yang seharusnya ada.

"Eh tunggu dulu." ucapku padanya.

"Apa Om?"

"Kamu masih ingat nggak, sama perempuan yang kamu panggil Ibu waktu itu?"

"Yang mana ya?"

"Itu loh, yang sempat kamu peluk dia di kafe, ingat?"

"Mendadak saya amnesia Om."

"Dih.."

Tuh kan, aku bilang juga apa? Anak ini kalau di ajak bicara pasti rada rada. Aku berusaha menahan kesal.

"Tapi kalau soal uang, saya ingat. Karena saya nggak bisa hidup tanpa uang." ucapnya sambil nyengir.

"Dahlah sana makan. Jangan lupa ambil dari tong sampah!"

"Om ada masalah apa sih? Saya cuma bicara apa adanya dan itu semua realistis."

"Anak kecil kayak kamu tahu apa soal realistis realistis segala? Mending kamu belajar dengan giat supaya pintar kaya saya."

"Percuma pinter kalau nggak punya hati nurani. Buktinya saya di suruh makan dari tong sampah."

Aku sudah ingin membuka mulutku untuk ngomel. Tapi aku urungkan. Berbicara sama anak ini memang nggak bisa santai. Akhirnya aku mengibaskan tanganku untuk mengusirnya agar cepat pergi ke dapur.

Setelah dia pergi. Aku termenung. Tiba-tiba saja aku teringat Rissa. Masih dengan perasaan yang sama, dalam keadaan bingung karena belum tahu penjelasan tentang kehamilan dan putri kami yang meninggal.

Tapi masih kah aku pantas meminta penjelasan sementara aku sendiri sudah meninggalkannya di masalalu? Aku langsung menggeleng cepat. Ah bodoamat lah sama masalalu dan rasa bersalah. Pokoknya aku tetap harus meminta penjelasan itu sama dia. Harus!

Kalau Rissa terus menghindar, nggak masalah. Satu-satunya cara agar permintaan dan harapan yang bisa terkabul kapan saja siapa lagi kalau bukan meminta pada Allah? Aku akan meminta padaNya agar dapat kemudahan dengan semua persoalan ini.

****

Beberapa hari kemudian..

Hari hari yang di tunggu pun tiba. Alhamdulillah aku memiliki usaha baru. Usaha dagang yang menjual bahan kue dan perlengkapan memasak. Aku membuka usaha sesuai bidang hobiku yaitu tata boga.

Aku hampir lupa memberitahukan hal ini pada kalian karena akhir-akhir ini kita terus membahas Rissa kan? Bahas dia emang nggak ada habisnya. Hubungannya sudah berakhir tapi nama dan kenangannya terus mendampingi.

Aku melihat beberapa karangan bunga ucapan selamat dan sukses. Beberapa rekan dekat dan Mitra kerja sama juga berdatangan. Setelah itu semua, aku menoleh ke belakang dan berniat untuk memasuki ruanganku. Tapi tanpa sengaja aku melihat salah satu karyawanku berjalan sambil membawa kotak kardus sebanyak 5 susun tinggi ke atas dan berhasil membuat si pemilik wajah tidak terlibat.

Aku berjalan mendekatinya sambil menggulung lengan panjang kemejaku hingga ke siku kemudian berinisiatif membantunya.

"Biar saya bantu."

"Terimakasih saya-"

Detik itu juga aku dan dia sama-sama beradu pandang satu sama lain. Dan aku tidak menyangka kalau dia adalah Rissa. Sementara kotak kardus itu masih ada di antara kami meskipun tidak terlalu berat.

Apakah ini yang di namakan jodoh belum pasti tetapi pada akhirnya bertemu?

Aku langsung menarik sudut bibirku dan memajukan langkah sampai berhasil membuatnya terdorong ke belakang.

"Astaga! Apa yang-"

Cepat-cepat aku mendorongnya ke belakang sampai akhirnya posisi kami berhasil memasuki ruanganku yang jaraknya tidak jauh. Dalam sekali gerak aku menyenggol ujung bawah pintu menggunakan salah satu kakiku hingga pintu ruangan ini berhasil tertutup rapat.

"Kurang ajar!" umpatnya.

Bruk! Suara kotak kardus di lempar terdengar.

Aku melongo terkejut. Di luar dugaan Rissa malah melempar secara asal kotak kardus itu hingga berserakan. Wajahnya sudah marah dan anehnya aku malah menyukainya.

Sadar Keenan, sadar! Dia masih istri orang anjir! Eh Astagfirullah.. Maaf keceplosan ngomong kotor. Lalu Rissa menghindariku menuju pintu dan berusaha membukanya. Tetapi nihil, pintunya sempat aku kunci wkwkw.

"Keluarkan aku dari sini!"

Aku tersenyum sinis. Dengan santai aku memasukkan kunci ini ke dalam bajuku.

"Keluar aja sendiri."

"Mana bisa! Kuncinya sama kamu. Cepat!"

Aku tersenyum menyeringai kemudian membuka dua kancing teratas hingga sedikit memperlihatkan dada bidangku yang saat ini tertempel kunci.

"Nih kuncinya. Ambil aja kalau mau.."

"Kamu pikir aku mau?!"

"Kenapa?" Aku melangkah mendekat Sampai akhirnya dia berpaling.

"Aku gak bermaksud menguji kesabaramu. Bukannya dulu kamu suka megang-megang? Makanya aku suruh ambil."

"KEENAN!"

Saat itu juga aku terpaku sama wajahnya.

Dia blushing.

****

😌 enggak cekcok, nggak asik kayanya setiap ketemu 🙂

Makasih ya udah baca. Sehat selalu buat kaliaaan 🤍

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Kembalinya MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang