Chapter 19 : POV Rissa

249 50 14
                                    

Yang aku sadari, aku tipe cewek yang nggak mudah menangis. Walaupun sejatinya menangis adalah bentuk dari reaksi terhadap suatu hal yang menyakitkan ataupun mengharukan.

Tetapi untuk sekarang. Puncak dari semua hal yang menyakitkan adalah mendengar semua ucapan si boss. "Kamu saya berhentikan.."

Begitu katanya.

Aku mencoba untuk tidak terlihat lemah apalagi memelas di depannya. Hingga aku pun hanya mampu menunjukkan reaksi tersenyum seolah-olah menganggap semua itu cuma B aja.

"Baik, Boss."

Akhirnya aku membalikkan badanku. Dengan punggung yang tegap seolah-olah akun ini kuat. Padahal dalamnya sudah hancur berkeping-keping. Di sakitin suami, dikekang, tidak di nafkahi, dzolim iya. Sekarang di pecat pula.

Dengan lemas aku masih memegang 5 lembar duit ratusan ribu di tanganku. Aku berjalan keluar bahkan aku sendiri tidak percaya masih bisa sekuat ini berpijak di atas bumi di tengah-tengah ujian hidup yang luas binasa.

Aku menghentikan langkahku sejenak. Menoleh ke belakang karena biar bagaiamana pun dia pernah baik selama aku bekerja disini.

"Ada pertanyaan?" jawabnya padaku.

Aku menggeleng dan tersenyum tipis dengan perasaan terluka.

"Terima kasih, Keenan."

Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama bertemu menjadi mantan. Aku menyebut namanya. Tetapi tiba-tiba, waktu seperti berhenti berputar. Apa yang aku lakukan sekarang, benar-benar mengulang sejarah masalalu.

Dulu, terakhir kami bertemu di hotel setelah malam yang panjang itu. Aku juga begini. Menoleh kebelakang dan menatapnya sambil berucap Terima kasih Keenan.

Dan sekarang, aku kembali melakukannya. Aku harap ini semua akan menjadi penghujung dari kisahku dengan dia. Tidak ada lagi situasi dimana kita kembali bertemu dan berakhir menjadi teman atau lebih dari teman.
Karena yang namanya pernah menjadi mantan itu selalu berakhir dengan cerita yang pahit.

Aku pun keluar dari toko itu bertepatan saat Ansel datang menghampiriku sambil mengantongi ponselnya.

"Akting kamu bagus. Aku yakin, saat ini kamu sudah jadi pengangguran."

"Aku mau pulang."

"Pulang sendiri ya. Aku mau ngedate sama pacar baru. Kayaknya dia bakal jadi junior kamu."

Aku mengepalkan tanganku. Seandainya membunuh tidak masuk penjara, aku sudah melakukannya sejak dulu! Tetapi tidak, aku masih waras dan berharap kewarasan ini tetap terjaga demi Azhar yang tidak mengerti apa-apa.

Aku menghubungi taksi online dengan sisa uang yang ada. Menuju rumah dengan hati yang sudah capek sama keadaan tetapi aku di paksa untuk tetap kuat.

Sesampainya di rumah, aku menidurkan Azhar di ranjang kamarku terlebih dahulu. Kemudian segera mengemas barang-barangku ke dalam koper.

"Kak, mau kemana?"

"Minggat."

"Terus aku gimana?"

Aku menghentikan gerakan tanganku yang sejak tadi sibuk melipat baju kedalam koper. Saat ini aku tidak ingin berdebat dengan adikku yang bodoh ini.

"Irfan.."

"Hm.. "

"Mulai sekarang belajar mandiri ya. Kamu anak laki-laki. Seharusnya lebih unggul dari Kakak."

"Jangan bilang Kakak mau ajak aku LDRan?"

Aku mengacak-ngacak rambutnya. "Kakak mau nenangin diri pulang kampung. Kakak nggak bisa bertahan di kota ini yang penuh dengan kepahitan. Kesehatan mentalku lebih penting."

Kembalinya MasalaluOn viuen les histories. Descobreix ara