Chapter 2 : POV Keenan Jeremy

714 74 8
                                    

Halo, Aku Keenan Jeremy.

Seperti namanya, Keenan Jeremy memiliki arti cerdas dan bisa di andalkan. Nama pemberian dari Ibuku tercinta.

Aku memang menyayangi ibuku, hormat padanya dan berbakti kepadanya sebagaimana mestinya. Saking penurutnya jadi anak, bahkan urusan percintaan pun aku rela melepasnya karena nasihat dan larangan dari Ibu.

Alasannya singkat.

"Katanya jangan pacaran kalau masih sekolah. Kalau ada apa-apa kamu mau kasih makan anak orang apa?"

"Lagian pacaran dalam islam itu di larang. Memangnya kamu mau, berbuat dosa terus?"

Kalau sudah begitu, aku bisa apa? Saat itu aku hanya mengangguk patuh. Tetapi sebenarnya hatiku terluka. Bayangin aja, masa sekolah SMA menurutku adalah masa-masanya indah yang namanya kasmaran apalagi jatuh cinta.

Tiap hari ketemu doi, rasanya begitu semangat setiap turun sekolah. Bahkan yang awalnya bosan banget belajar dan ketemu guru, malah berubah sebaliknya.

Semua karena dia.

Rissa...

10 tahun tidak bertemu dengannya. Kini takdir kembali mempertemukan kami.
Dalam keadaan canggung. Tegang. Dan tidak biasa.

Biar bagaimana pun secara tidak langsung dulunya kami pernah bersama, punya masalalu, dan berakhir punya kenangan masing-masing.

Nama arti Jeremy seharusnya bisa diandalkan dalam hal apapun. Termasuk urusan pekerjaan, Karir, dan lainnya. Tetapi tidak urusan asmara.

Aku gagal dalam melakukannya.

Bahkan 10 tahun yang lalu aku sengaja mematahkan hatinya di saat kami sedang sayang-sayangnya. Aku tahu saat itu tidak mudah buatnya. Tapi aku bisa apa ketika akan di cap anak tidak baik bila tidak mematuhi aturan agama? Apalagi melanggar nasihat Ibuku.

"Jadi bagaimana, kamu bisa mulai bekerja besok?"

"Bisa Pak."

"Kalau begitu besok kamu masuk sift malam. Jam kerja dari pukul 3 sore sampai jam 10 malam tutup toko. Tetapi sebelum pulang, kamu harus beres-beres  semuanya sampai selesai. Agar tidak merepotkan anak-anak yang bekerja sift pagi."

"Baik, Pak."

"Ada pertanyaan?"

"Tidak."

"Oke. Kalau begitu sudah selesai."

Aku menatap Rissa berdiri dan dia mengangguk hormat padaku. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan yang sama. Setelah kepergiannya, aku menatap pintu didepan mataku. Tempat dimana dia berdiri karena terkejut melihat pria masalalu yang pernah membuatnya terluka.

Setelah itu aku kembali membuka berkas lamaran kerja miliknya. Hanya ada ijazah SMA dan tidak ada ijazah kuliah yang dia lampirkan. Berarti, apakah dia tidak kuliah? Kalau iya, kenapa? Bukankah dia siswi yang cerdas? Kenapa juga dia tidak mengambil program beasiswa?

Aku langsung menggeleng cepat. Tidak baik aku bertanya-tanya seolah-olah ingin tahu urusan hidupnya. Aku tidak boleh bersikap seperti ini. Sejak awal mengetahui lamaran atas nama dia dan melihat pas fotonya, mestinya aku sadar apa yang aku lakukan ini adalah murni menerimanya sebagai karyawan atas dasar sikap profesional dalam pekerjaan.

Apalagi karyawanku baru saja resign. Mencari pengganti karyawan tidak semudah yang di kira. Karena kita tidak pernah tahu apakah mereka akan serius bekerja atau hanya sekedar main-main.

Suara adzan ashar di ponselku berkumandang. Sudah waktunya aku sholat. Akhirnya aku berdiri dan bergegas mengambil air wudhu. Berharap setelah sholat nanti hatiku yang sekarang ini sedang campur aduk habis ketemu mantan bisa berubah menjadi tenang setenang air.

Kembalinya MasalaluDonde viven las historias. Descúbrelo ahora