Chapter 8 : POV Keenan

359 63 119
                                    

Mau heran tetapi ini anak-anak. Apalagi darah dagingku sendiri. Bisa-bisanya Shafira mau main dokter-dokteran bersama Rissa dengan cara Rissa menjadi Ibu pasien dan Shafira adalah anaknya. Konyolnya lagi, aku malah pengen ikut-ikutan jadi Ayahnya. Seolah-olah kami adalah keluarga kecil yang bahagia.

Aku, Rissa, dan Shafira.

Astaga..

Kenapa tiba-tiba aku jadi mikir begini sih? Nggak-nggak. Jangan.

Soal ikut-ikutan bermain tadi aku cuma bercanda. Aku sudah dewasa. Jelas sekali aku tidak mau yang main-main atau pura-pura. Lagian aneh aja, hanya karena Rissa yang jadi ibu pasien, bisa-bisanya aku mau ikutan.

Aku menghela napas..

Aku yakin pemikiran ini bisa muncul gara-gara efek kelamaan menduda. 4 tahun tanpa bersama pasangan hidup memang bukanlah waktu yang sebentar.

Saat ini jam istirahat Rissa. Aku melihat Shafira bermain belajar bersama Rissa melalui ponsel yang di pegangnya. Dari sini aku bisa melihat bagaimana Shafira sedekat itu dengan Rissa. Mungkin karena lumrahnya seorang anak yang tidak pernah memiliki kasih sayanh seorang Ibu.

Kalau boleh jujur, kenapa selama ini aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun.

Alasannya cuma satu.

Aku menghargai perasaan Shafira.
Itu saja.

Padahal ada banyak wanita yang mendekatiku. Apalagi aku ini duda kaya. Sombong dikit wkwkw.

Tetapi aku tidak mendekat balik ke mereka. Semua yang aku lakukan demi Shafira. Aku hanya tidak ingin Shafira merasa tidak nyaman melihat Ayahnya dekat dengan banyak wanita.

Tetapi dengan Rissa. Ntah kenapa pengecualian.

Padahal takdir kembalinya bertemu kami hanya sebatas partner kerja. Aku membutuhkan tenaganya dan dia membutuhkan upah hasil jerih payahnya. Tetapi kenyataannya, Shafira malah blak-blakan bilang kalau foto Rissa ada di dalam lemariku.

Shafira.. Shafira.. Mau heran tetapi dia ini fitrahnya anak-anak yang memiliki rasa penasaran tinggi. Hingga akhirnya Shafira malah dekat dengan Rissa

"Sayang, ayo waktunya makan siang." ucapku pada Shafira.

"Ayah apa boleh Tante cantik ini tinggal bersama kita?"

"Boleh."

"Tidak."

Aku dan Rissa, Sama-sama berucap meskipun beda jawaban. Aku bilang boleh sedangkan dia tidak. Aku tersenyum lebar.

"Benarkah?" Shafira berbinar bahagia. "Wah bagus sekali Ayah! Sekarang kita tidak berempat lagi. Kalau ada Tante, kita bisa berlima."

"Tidak semudah itu Fira."  Aku mengajak Shafira untuk turun dari pangkuan Rissa. "Tante cantik ini punya rumah. Tetapi sayang rumah nya jauh dan kecil banget."

"Apa? Kecil. Sekecil apa?"

Aku menatap Rissa sebentar. Bahkan tatapannya kini terlihat tajam ke arahku. Jika tidak ada Shafira, mungkin aku bakalan di tendang sama dia. Memangnya aku bola pakai di tendang segala? Kalau gol sampai ke hatinya sih, it's oke lah ya wkwk.

"Hmm... Sekecil kadang ayam?"

"Ayah! Kita harus ajak Tante cantik ini tinggal sama kita. Kandang Ayam itu kan sempit banget. Tante nggak bakal muat."

"Boleh. Tanya dulu, kalau dia tidak mau, hm sepertinya kita akan tetap berempat. Ayah, Fira, Mbak pengasuh dan Ibu pembantu."

"Tante, ayo! Tinggal sama aku ya. Ya? Ayolah.."

Kembalinya MasalaluМесто, где живут истории. Откройте их для себя