Chapter 31 : POV Rissa

188 42 14
                                    

Sebulan kemudian..

Akhirnya aku kembali pulang ke rumah setelah Ansel sembuh total dari pengobatan akibat insiden kecelakaan waktu itu. Sekarang aku berdiri menyamping sambil bersandar di jendela. Lalu kedua mataku menatap banyak hal di luar sana bersama pikiranku yang melalang buana kemana-mana.

Terutama pikiranku tentang Ansel. Tapi di satu sisi, Kadang-kadang aku juga teringat Keenan. Ya bukannya gimana, lebih tepatnya beban pikiranku perlahan-lahan mulai berkurang setelah menyadari sudah 1 bulanan ini Keenan tidak menerorku apalagi mendatangiku.

Begitu maksudnya..

Oke balik ke topik. Soal Ansel tadi..

Aku nggak tahu harus bagaimana kalau dia benar-benar berubah menjadi suami yang baik. Mungkin dia ingin menebus rasa bersalahnya padaku. Tapi masalahnya..

Apa yang dia lakukan selama ini benar-benar membuat perasaanku tetap sama seperti dulu.

HAMBAR.

Aku menghela napas panjang. Mencoba memberinya kesempatan berubah menjadi pria yang baik meskipun aku sendiri tidak yakin bisa memberinya balasan perasaan atau tidak.

"Kak.."

"Apa?"

"Bagaimana penampilanku?"

Sejenak, aku menatap Irfan yang sibuk didepan kaca. Sesekali kedua matanya menatapku, berharap kalau dia bisa di puji dengan penampilannya yang tampan memakai jas formal.

"Bagus."

"Itu doang?"

"Memangnya kamu ngarepin pujian apa? Hari gini haus pujian."

"Mbaknya ada masalah apa sih?"

Aku makin jengkel. Sebenarnya kalau boleh jujur tentu saja Irfan itu tampan. Hanya saja, setelah dia di terima sebagai sekretaris pribadi Ansel. Aku langsung kecewa. Mau sebaik apapun Ansel sekarang, tetap saja dia tidak terlepas dari gelegat yang mencurigakan. Itu sebabnya aku kecewa kenapa harus adikku sendiri yang menjadi sekertarisnya. Kenapa bukan orang lain saja?

Ada banyak hal yang tidak aku ketahui secara detail tentangnya. Padahal aku bisa saja cari tahu, tapi karena terlanjur kecewa dengan apa yang sudah dia lakukan padaku selama ini. Aku memilih bersikap bodoamat. Aku kembali menatap adikku.

"Aku nggak ada masalah. Justru kamu beban masalah yang sebenarnya."

"Lah? Kok.."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Bang Ansel, gimana? Bagus nggak?" sela Irfan langsung pada Kakak iparnya yang baru saja datang. Siapa lagi kalau bukan Ansel.

"Cocok buat kamu. Bagaimana, sudah siap buat besok?"

"Insya Allah siap, Bang!"

Lalu pandangan Ansel beralih ke arahku. Dia hanya tersenyum lalu berlalu memasuki kamar. Aku langsung skeptis. Gitu doang? Biasanya dia memelukku, mencium puncak kepalaku, atau paling tidak bertanya apakah aku sudah makan atau belum. Begitu.

Lah ini?

Aku menghela napas lagi. Akhirnya aku ikut masuk ke kamar dan membiarkan Irfan yang terlihat happy karena penampilan perdananya besok untuk bekerja.

Aku membuka pintu kamarku. Aku melihat Ansel melepas ikatan dasinya. Kemudian aku duduk di pinggiran ranjang. Aku memperhatikan semua gerak geriknya. Padahal dia sadar kedatanganku tapi ntah kenapa dia masih diam saja.

"Aku mau mandi dulu."

Lagi, dia masih sempat tersenyum. Aku tahu senyumnya dia adalah senyuman tulus semenjak dia memutuskan untuk berubah. Sampai akhirnya, dia memasuki kamar mandi dan suara kucuran air terdengar. Aku langsung menggaruk ujung alisku dengan heran. Kok dia aneh banget ya? Ada apa? Begitu kira-kira.

Kembalinya MasalaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang