Chapter 17 : POV Rissa

261 39 8
                                    

Aku tersenyum sinis. Lukman, lupa pakai pengaman. Ck!

Singkatan itu lebih cocok buat dia karena dulunya dia tidak memakai penghalang apapun saat kami khilaf. Tetapi itu masalalu. Masalalu seorang pendosa sepertiku yang harus disesali. Walaupun baru sekali, tetapi rasa bersalah setelahnya kadang kala sering menghantui.

Aku memang bodoh. Kehormatanku hilang setelah kami putus. Memang, saat itu kami hanya menjalin hubungan selama 3 tahun. Tetapi suatu hari, kami kembali bertemu di acara pernikahan teman sekolah kami di salah satu hotel ternama.

Awalnya aku dan Keenan sama-sama canggung saat kembali bertemu. Tetapi siapa yang menyangka kalau perasaan kami saat itu masih sama. Hingga setelahnya, semua itu terjadi begitu saja saat Keenan tiba-tiba memberanikan diri untuk check in.

Semua kerinduan yang terlalu lama di pendam, perasaan yang masih sama, dan hubungan yang tidak mungkin akan kembali karena tidak di setujui itu pun langsung terlampiaskan malam itu juga.

Padahal kenyataan sebelumnya. Saat menjalin hubungan pun Keenan itu pria yang sangat baik. Dia tidak pernah macam-macam sama aku. Kasar sama aku seperti yang di lakukan Ansel. Jangankan pegangan tangan, lebih dari itu saja tidak pernah. Mungkin ini terlihat datar atau membosankan. Tetapi yang kami rasakan saat itu malah sebaliknya.

Dengan duduk sebangku selama 3 tahun, sangat banyak kenangan di antara kami ketika di sekolah. Hanya di sekolah, kami bisa menghabisi banyak waktu bersama. Ke Kantin, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bulu tangkis bersama, belajar bersama. Dan setelah pulang pun, kami melanjutkan komunikasi itu dengan sms ataupun telponan.

Kami juga tidak berani ketemu di luar secara sembarangan karena larangan orang tua. Kecuali ada kegiatan sekolah yang mengharuskan diluar jam sekolah.

Lucunya lagi saat di kelas, kami saling memberi tugas pelajaran atau pertanyaan yang sulit. Siapa yang kalah tidak bisa menjawab, akan diberi hukuman dengan mentraktir makan di kantin sampai kenyang. Dan yang menang akan mengerjakan PR yang di berikan oleh guru.

Sesederhana itu hubungan kami sampai awet 3 tahun. Meskipun pada malam dimana kehormatanku hilang, bodohnya kami sama-sama kelepasan.

Mungkin ujian hidup menyedihkan yang aku alami sejak dulu hingga sekarang adalah salah satu pengingat agat aku segera kembali pada Allah dengan caramu bertaubat. Apalagi dulu aku pernah berzinah sama Keenan.

Pertanyaan yang sering menamparku adalah sudahkah kamu sholat hari ini?
Jawabannya belum. Jujur saja, sholat aja aku masih bolong-bolong. Aku sampai malu sama Allah. Pendosa begini kok minta kehidupan yang enak sementara kewajibanNya saja aku tidak taat.

Aku terdiam sambil merenung menatap cermin rias didepan mataku. Hari ini aku izin nggak kerja dengan alasan sakit. Padahal sebenarnya aku malu untuk pergi bekerja dengan keadaan seperti ini. Pipiku terlihat memar dan merah. Tetapi semua yang aku lakukan demi bisa meraih putraku kembali. Tidak mungkin aku bekerja dalam keadaan pipi merah seperti ini.

"Riss, jangan kebanyakan bengong."

Aku menoleh ke arah sepupuku. Aku baru ingat ada sepupu disini. Namanya Olivia. Cuma dia satu-satunya dari sekian banyak keluarga yang pro sama aku. Apalagi usia kami cuma selisih 1 tahun. Umurku 29 sementara dia 28 tahun.

"Salep yang aku minta mana? Udah kamu belikan?" tanyaku padanya.

"Udah nih. Yakin memarnya bakal hilang dalam satu hari? Merah banget."

"Di coba aja dulu."

"Jujur ya Riss, lihat kamu begini aku jadi takut buat menikah. Di jodohin aja belum tentu cocok apalagi nyari sendiri?"

"Ya kalau gitu nggak usah nikah. Simpel kan?"

"Ih, simpel apanya. Nggak semudah itu tauuu. Apalagi kita ini perempuan. Tahu sendiri kan kalau kelamaan belum nikah-nikah pasti bakalan gimana."

"Denger ya.. " Aku menatap Oliv dengan datar sekaligus kesal. "Kalau cewek lambat nikah, jangan pernah berpikir kalau kamu bakal kehabisan umur di usia produktif. Karena cowok yang tepat, suatu saat bakal datang ke dalam hidupmu dan nerima apapun kondisi kamu. Ngerti nggak?"

"Tapi Riss-"

"Dah, nggak usah banyak overthinking! Kalau kamu nggak suka di jodohin tinggal tolak. Kebahagiaan itu kamu yang cari, bukan dari mereka yang terus-terusan sibuk nyariin pasangan hidup buat kamu. Mungkin maksud mereka baik. Tetapi masalahnya bakal baik di kamu nggak? Gitu.."

Akhirnya aku memakai salep tipis-tipis di pipiku untuk mengurangi rasa memar.

"Aku nggak bisa jawab Riss. Aku bingung."

"Tanya sama hati kamu. Itu saranku. Atau kamu bisa sholat istikharah."

"Ngomong-ngomong dulu kamu bisa nikah sama Ansel gimana? Kan ujung-ujungnya dia nyakitin."

"Emang lagi sial aja ketemu dia.."

"Bagaimana dengan Keenan? Kenapa bisa putus kalau kalian sama-sama sefrekuensi?"

Aku langsung terdiam. Bahkan jari tanganku yang sejak tadi bekerja untuk mengoles salep di pipi ikut berhenti juga. Aku menghela napas.

"Kalau dia itu musibah."

"Musibah yang berhasil bikin hatiku sulit ngilangin nama dia." lanjutku dalam hati.

*****

Beginilah jadi mantan. Gak semudah itu selesai kalau ternyata masih ada ujungnya 😞

Makasihh sudah baca. Sehat selalu buat kaliaaann🤍

With Love, Lia

Instagram : lia_rezaa_vahlefii

Kembalinya MasalaluDove le storie prendono vita. Scoprilo ora