34

1.8K 139 62
                                    

Satu Minggu, waktu yang terasa begitu singkat bagi sebagian orang, tapi tidak untuk Anjani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu Minggu, waktu yang terasa begitu singkat bagi sebagian orang, tapi tidak untuk Anjani. Satu Minggu ia harus berjuang menepis rasa trauma juga rasa sakit yang dideritanya di rumah sakit. Selama waktu itu pula tak ada satu orang pun yang bisa ia percaya, bahkan dengan orang tuanya sendiri.

Semua terasa hanyalah kebohongan, tipuan, juga manipulasi. Apalagi setelah mengetahui Gea––satu-satunya harapan Anjani mengetahui siapa peneror itu kini harus berjuang untuk kembali hidup. Gadis itu dinyatakan koma. Entah kapan akan sadar, Anjani berharap sesegera mungkin.

"Anjani, sudah siap?"

Suara itu membuyarkan lamunan Anjani seketika, kala kelopak matanya berkedip sesaat, ia kembali menatap dirinya di pantulan cermin dengan setelan seragam sekolah kembali. Ya, ia akan kembali ke sekolah itu. Entah apa yang akan terjadi lagi, Anjani akan berusaha untuk menghadapi itu.

"Sudah Pa."

Diraihnya tas di atas kasur, lalu melangkah membukakan pintu kamarnya. Pandangan pertamanya, sosok Papa yang menarik senyum tipis ke arahnya. Pria itu sedikit lebih perhatian padanya ketika ia masuk rumah sakit. Mungkin Anjani pikir, ia harus terluka dahulu agar menarik atensi Papa padanya.

"Kalau kamu merasa ada yang sakit, segera hubungi Papa. Yang kemarin cukup kali pertama dan terakhir kamu di rawat di rumah sakit."

Petuah dari pria itu hanya diangguki singkat oleh Anjani. Kala melewati dapur, sang Mama sigap mendekati, membawa kotak bekal yang sudah di siapkan sejak tadi.

"Harus dihabisin ya?" kata Risa sembari menyerahkan kotak bekal itu pada sang anak.

Anjani menyambutnya. Menarik senyum tipis, lalu menjawab, "Iya Ma."

Usai perbincangan singkat dengan Mama, Anjani beserta Papa langsung melenggang pergi menuju sekolah Anjani. Selama di perjalanan memang tidak banyak percakapan. Papa cukup pendiam kali ini. Anjani pula lebih memilih membuang muka ke arah jendela mobil dengan tenggelam dalam lamunannya.

Gerbang sekolah menjadi titik pemberhentian mobil Papa, Anjani berniat keluar dari mobil mendadak terurung kala dari Papa angkat suara, "Mulai sekarang jauhin anak berandalan itu."

Anjani sontak menoleh. Ia tahu siapa yang tengah Papa bicarakan kali ini. "Namanya Devan, bukan anak berandalan."

"Sama saja. Papa gak suka lihat dia deket sama kamu. Apalagi dia anak geng motor kan, pasti punya banyak musuh. Bagaimana jika kamu terlibat dengan musuh-musuhnya?"

"Iya."

Tidak ada jawaban lain. Sekalipun Anjani menjelaskan Devan tidak seburuk yang Papa pikirkan, itu tetap akan berakhir sia-sia.

Memutuskan topik kali ini, Anjani langsung keluar dari mobil sang Papa. Lantas membawa langkahnya masuk ke dalam halaman sekolah. Tak banyak yang menyadari kedatangan Anjani kali ini, tetapi dari arah tepi lapangan dua gadis sudah berlari ke arahnya––tersenyum lebar, dengan lambaian kecil.

EVANDER || BTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang