29

2.9K 195 526
                                    

Jika ada yang bertanya apa yang paling menyenangkan bagi Anjani, jawabannya cukup simpel––tidak adanya Papa di rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika ada yang bertanya apa yang paling menyenangkan bagi Anjani, jawabannya cukup simpel––tidak adanya Papa di rumah. Kabarnya hari ini pria itu akan keluar kota selama satu Minggu karena pekerjaan. Tantu ini adalah momen yang paling Anjani tunggu, sebabnya ia sedikit tenang di rumah tanpa adanya celotehan Papa.

Seperti sebelumnya, Anjani diantarkan lebih dulu oleh pria itu ke sekolah sebelum berangkat untuk keluar kota. Selama di perjalanan pula, tak berhenti pria itu memberikan peringatan pada putri tunggalnya selama dirinya tidak ada di rumah. Larangan-larangan yang berulang kali pria itu lontarkan membuat telinga Anjani sedikit muak mendengarnya.

"Kamu dengarkan, Anjani?" Pria itu menoleh ke samping, tepat ke arah Anjani yang duduk di sebelah kursi pengemudi.

Mendengar pertanyaan itu, Anjani melirik malas pria itu sembari menjawab, "Denger Pa."

"Yasudah, belajar yang benar. Papa tidak mau, saat Papa pulang, Papa lihat nilai kamu menurun lagi kaya kemarin."

Mobil itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah Anjani. Beberapa murid sudah mulai berdatangan, Anjani lantas melepaskan sabuk pengaman untuk keluar dari mobil sang Papa, setelah berpamitan.

Senyumnya kali ini cukup merekah. Anjani melangkahkan kaki cukup percaya diri, meski ada beberapa pasang mata menyorotnya, gadis itu mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tangannya sempat bergerak lincah dilayar ponsel, untuk sekedar membalas pesan dari Alesya bahwa gadis itu masih belum bisa sekolah hari ini.

Cukup lega karena Alesya sudah bisa pulang dari rumah sakit, artinya gadis itu sudah baik-baik saja sekarang. Langkahnya sudah menapak di koridor lantai satu, ketika menuju anak tangga, seseorang tiba-tiba menariknya dari belakang. Membuat Anjani sempat memekik pelan lantaran terkejut.

"Sstt! Gue Devan."

Sontak Anjani menyentak tangannya yang digenggam Devan barusan. "Bisa gak sih jangan bikin gue kaget! Gue pikir siapa tadi."

Anjani masih was-was, lantaran peneror itu yang masih berkeliaran di sekolahnya, karena itulah ia mudah kagetan. Sementara Devan, jangan harap lelaki itu merasa bersalah sempat mengagetkan Anjani barusan. Justru Devan memasang raut wajah datar seperti biasanya.

"Lo masih dapat kiriman dari peneror itu gak?" Devan mengalihkan pembicaraan. Ia sudah bertekad, mulai hari ini ia akan mencari si peneror itu sampai dapat. Tak ingin lagi siapapun jadi korbannya––termasuk Anjani.

Sebelum menjawab pertanyaan dari Devan itu, Anjani sempat menoleh ke samping kanan kiri, hanya untuk memastikan tidak ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka. "Enggak ada sih. Gue berharap, peneror itu berhenti neror gue. Lama-lama gue takut."

"Lo tenang aja, gue pastikan orang itu bakal gue tangkap." Tatapan Devan terkesan meyakini, membuat Anjani sedikit menarik senyum tipis.

Mereka kembali melangkah. Selama langkah itu pula, Devan menyempatkan waktu untuk bertanya oleh sesuatu yang dari kemarin membuatnya mengganjal. "Kalau boleh tau, lo dapat kotak merah dari peneror itu dimana?"

EVANDER || BTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang