"Gak ada, cuman ada perawat aja di dalam. Katanya Alesya mau dipindahin ke ruang rawat inap," jawab Dafa.

"Boleh gak kita masuk? Gue pengen tau keadaannya," ujar Anjani menyahut. Sejak awal, kekhawatirannya mengenai kondisi Alesya masih terus melekat dalam dirinya. Karena bagaimanapun, Alesya berakhir seperti ini, karena dirinya––teror yang seharusnya tertuju padanya.

"Masuk aja. Gue aja baru keluar ini," beritahu Dafa. Hingga tanpa banyak berkata lagi, Anjani melangkah masuk ke dalam ruangan itu, bersama kedua temannya yang mengikuti.

Di dalam, Anjani dapat melihat Alesya yang masih terbaring lemah di atas brankar, bersama satu perawat yang tengah memeriksa sesuatu di sana. Kedatangannya di sambut senyum lebar dari Alesya, seakan dirinya yang tengah di khawatirkan sekarang sedang baik-baik saja.

"Sya, ada yang sakit lagi gak? Gue benar-benar gak tenang banget liat kondisi lo sekarang ini..." lirih Anjani.

Mendengar itu, Alesya menggeleng pelan. Ditepuknya punggung tangan Anjani dengan terkekeh, "Gue baik-baik aja astaga. Jangan khawatir gitu ah!"

Bukannya ikut tersenyum seperti Alesya ini, Anjani malah tetap masih mempertahankan raut wajah khawatirnya. Entahlah, ia takut saja Alesya berbohong atas kondisinya itu. "Lo lagi gak bohong kan? Lo serius udah baik-baik aja? Udah gak ada yang sakit lagi?"

"Iya Anjani sayangkuuu. Udah mendingan lah, meski rada lemes dikit, hehe."

Anjani mengangguk pelan. Sementara di samping, Gea menatap sedikit bingung pada Anjani. Ada sesuatu yang menjanggal rasanya. "Kenapa deh muka lo kelihatan gak semangat gitu, Anjani?"

Karena merasa ini waktu yang tepat untuk bercerita tentang dibalik kejadian yang menimpa Alesya sekarang, Anjani akhirnya perlahan angkat suara, "Sebenarnya Alesya keracunan makanan itu karena udah direncanain sama seseorang."

"Hah? Maksudnya gimana? Ada seseorang yang lagi ngebenci gue gitu?" Alesya lantas bertanya cukup bertubi. Keningnya sedikit mengerut, ada tanda tanya besar oleh penuturan Anjani barusan.

"Bukan. Ini orang sama, yang kirim kotak merah itu. Dia meneror gue lagi," jawab Anjani dengan sangat yakin.

"Lo tau dari mana kalau dia orang yang sama?" tanya Amanda.

"Dia ada ngechat gue." Anjani mengambil ponselnya di saku seragam. Menyalakan benda pipih itu untuk menunjukkan sesuatu di sana. "Ini nomornya. Kalian ada yang tau gak?"

"Mana? Gue mau liat."

Ketiganya bersamaan melihat nomor yang tertera itu. Dari Alesya menggeleng pelan. "Gak tau gue ini nomor siapa."

"Sama," timpal Gea. Ia sedikit menjauh setelah melihat nomor tersebut untuk mempersilahkan Amanda yang bergiliran melihatnya dengan jelas.

"Coba lo telepon Anjani," suruh Amanda.

"Udah gak aktif lagi. Kayanya itu nomor sekali pakai aja." Anjani mengambil ponselnya kembali.

Tak lama, benaknya kembali terbayang akan sosok orang itu yang Anjani temui beberapa jam yang lalu. Kejadian barusan masih ragu untuk Anjani ceritakan kepada temannya. Biarlah ia sendiri saja yang mencari tahu siapa orang itu, tanpa menyeret siapapun.

"Gue jadi semakin yakin, kalau ini semua perbuatan Ziva."

***

Pintu UGD ditarik oleh Anjani dari dalam, langkahnya keluar dari ruang tersebut seorang diri. Ketika netranya jatuh pandang pada kursi tunggu diluar, ia bertemu kembali dengan Devan––sendirian. Entah lelaki itu sedang menunggu dirinya atau apa, itu membuat langkah Anjani mendekati. Membuat Devan turut bangkit berdiri.

EVANDER || BTSWhere stories live. Discover now