Ketika teman kelasnya mulai ribut dengan razia yang dimaksud, Hana justru bersikap biasa saja––duduk tenang di pojok sendirian. Toh Hana selalu lengkap memakai atribut sekolah, juga tidak pernah membawa sesuatu yang dilarang di sekolah ini. Tak berselang lama dua guru datang, suasana kelas mendadak senyap.

Dari arah samping kanan, Jefri masih menelungkupkan wajahnya––lelaki itu sekelas dengan Hana. Mengenai razia dadakan ini, ia tidak tahu menahu. Ketika merasakan tepukan kencang dari seseorang, Jefri mendesis kesal, lalu perlahan angkat pandang menatap teman sebangkunya murka.

"Apa?"

"Ada razia itu. Bangun."

Jefri melotot terkejut. Cepat-cepat ia menegakkan tubuhnya, melihat dengan jelas dua guru itu mulai berbicara. "Anak-anak, hari ini kita mengadakan raziaan. Silahkan kalian semua berdiri, dan letakkan tas kalian di atas meja. Tolong sadar diri masing-masing, yang merasa hari ini tidak lengkap memakai atribut sekolah langsung saja maju ke sini. Tidak perlu segala dijemput."

"Sialan. Gue lupa pake ikat pinggang." Jefri merutuki dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah membiarkan guru datang ke mejanya.

"Lengkap atributnya?" tanya guru tersebut. Tidak bisa berbohong lagi, Jefri mengaku dengan berkata, "Lupa pake ikat pinggang, Bu."

Guru itu menggeleng pelan, dengan hembusan napas pelan. "Yasudah, maju ke depan dulu."

Kini berlanjut, guru tersebut memeriksa bagian tas Jefri––untunglah hari ini Jefri tidak membawa aneh-aneh, hanya sekedar tidak memakai ikat pinggang saja. Langkah guru itu mendekati meja Hana, gadis itu tersenyum tipis. Atribut gadis itu lengkap, lalu guru tersebut berganti memeriksa tas Hana. Semulanya Hana biasa saja, namun tiba-tiba tertepis ketika guru itu mengeluarkan make up.

"Kamu, bawa make up, Hana?"

Hana menggeleng pelan, masih terkejut dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Enggak Bu. Itu bukan punya saya."

"Lalu kenapa ada di tas kamu?" tanya guru itu lagi dengan tatapan penuh selidik.

"Saya juga gak tau, Bu, kenapa make up itu ada di tas saya," ujar Hana. Ia sudah berkata jujur, sayangnya semua teman kelasnya tidak percaya, dan meminta Hana maju ke depan untuk dapat hukuman.

"Ini sudah ada bukti, Hana. Jadi kamu tidak bisa mengelak lagi. Silahkan maju ke depan."

Sejak awal, perkataan Hana tidak pernah didengar oleh orang lain. Jadi, mau berapa kali pun Hana melakukan pembelaan, itu semua akan menjadi sia-sia. Bahkan sekarang, ketika langkah Hana berjalan ke depan, semua teman kelasnya menahan tawa seolah mengejek dirinya.

Tepat berdiri di samping Jefri, lelaki itu menoleh sekilas––gadis malang ini tampak begitu menyedihkan menjadi bahan candaan teman kelasnya. Sayangnya, Jefri pula tidak ada keinginan untuk membela––ia terlalu enggan untuk ikut campur urusan orang lain.

"Jangan jadi orang lemah terus, sesekali melawan. Gue rasa, lo juga tau siapa dalangnya, kan?" Hanya sebatas bait kata pelan yang terlontar dari Jefri pada Hana. Hingga menimbulkan senyum tipis dari gadis itu. Sejak awal memang ia sudah tahu siapa dalangnya.

"Gue cuman gadis sederhana yang gak punya apa-apa, wajar banyak orang memandang gue serendah ini."

***

Setelah selesai merazia seluruh kelas sepuluh, kini guru-guru mulai berjalan menuju lantai dua––dimana kelas sebelas berada. Di salah satu kelas, lebih tepatnya kelas 11 IPS 2, Dafa mengobrak-abrik isi tasnya––mencari dasi yang siapa tau terselip di dalam tasnya itu. Terhitung sudah menghabiskan beberapa menit, kini lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas kursi miliknya sembari menghembus napas gusar.

EVANDER || BTSWhere stories live. Discover now