"Kenapa gak si Dafa aja yang lo suruh?"

"Akh! Perut gue kok mendadak sakit ya? Aduh kayanya gue harus ke toilet nih. Mending lo aja ya, Ga? Gue nggak bisa nih." Pinter akting, itu juga Dafa. Dengan raut wajahnya yang pura-pura kesakitan, lelaki itu membawa langkah kakinya menuju toilet. Membuat Saga yang melihat menghembus napas lelah.

"Yaudah! Dimana alamatnya?" Dengan berat hati Saga bangkit berdiri. Tidak mungkin ia menolak, sebab adiknya yang sudah meminta––apalagi melihat kondisi Juna yang belum seratus persen sembuh dari luka yang kemarin, itu menjadi patokan Saga menuruti keinginan Juna.

"Bentar." Juna mengeluarkan ponselnya dari case, di sana terdapat satu kupon, Saga yang melihat mengangkat alis sedikit bingung. "Kasih ini kupon ke Maudy atau ke siapa aja yang lagi jaga kedai dia, ini dapet potongan harga. Itu juga ada tertulis alamat kedainya, lo liat aja sendiri."

Saga mengambilnya, lalu melihat sekilas kupon itu sembari berkata, "Lo sering ke kedainya?"

Juna mengangguk. "Lumayan. Mama suka sama ayam panggangnya. Lo sih di apartemen terus, jadi gak pernah nyobain."

Kalau gue pulang ke rumah, suasananya bakal beda, Jun.

***

Seharusnya Saga bertanya dulu kepada Juna seramai apa kedai Maudy itu, dibanding sekarang ia harus terdiam di atas motor menatap ramainya kedai ayam panggang Maudy. Jiwa-jiwa introvert Saga keluar. Ia paling tidak bisa harus menerobos di tengah keramaian itu. Maka pilihan yang tepat, Saga harus menunggu, barang beberapa menit agar pembeli di sana sedikit berkurang.

Satu menit. Dua menit. Sampai tiga puluh menit, akhirnya Saga turun dari motornya––melangkah dengan ragu-ragu, bersama satu kupon yang digenggamnya sejak tadi. Ketika masuk ke dalam, suara amat nyaring langsung menyapa indra pendengarannya. Saga tersenyum tipis, lekas ia melangkah menghampiri gadis berponi yang baru saja menyambut kedatangannya.

"Di sini, selain ayam panggang, ada menu yang lainnya kok, kak. Kakak bisa lihat sendiri." Gadis itu menyerahkan menu di kedainya, namun Saga tanpa melirik sedikit pun langsung berkata, "Pesan ayam panggangnya aja. Ini, gue ada kupon. Masih berlaku, kan?"

Gadis itu mengambil kupon tersebut dengan raut wajah yang sulit Saga mengerti. "Berlaku sih. Tapi kakak dapet dimana ini kupon? Soalnya ini kupon khusus untuk pelanggan setia di sini. Aku lihat-lihat, wajah kakak asing, kayanya baru pertama kali ke sini, bener kan?"

"Iya, tapi itu––"

"––apa jangan-jangan kakak nyuri kupon ini dari pelanggan setia kedai kami ya?! Omg! Ngaku nggak?!"

Saga melotot tidak percaya. Bisa-bisanya bocil satu ini menuduhnya yang tidak-tidak. "Heh, enggak!"

"Ini kenapa sih? Kok ribut-ribut?"

Suara seseorang datang menghentikan perdebatan mereka. Gadis berponi itu lantas menoleh, menunjuk Saga sambil berkata, "Itu kak Maudy, dia maling..."

Jika saja Saga mengenal bocil ini sudah lama, dipastikan satu sandal sudah melayang di wajahnya. Gemas sekali Saga. Sementara seseorang yang baru saja datang itu––Maudy menoleh ke arah Saga, ada rasa terkejut melihat kedatangan lelaki itu di kedainya. "Kak Saga?"

"Kak Maudy kenal?"

Maudy mengangguk. "Iya. Dia..., temen kakak."

"Ah, pantesan. Jadi kak Maudy yang kasih itu kupon ke kakak itu?"

Maudy terdiam. Mengapa adiknya malah membahas kupon? Kebingungan dari Maudy lantas dipecahkan lagi oleh sang adiknya itu. "Kalau gitu, Ara ke belakang deh. Kak Maudy aja yang layanin temen kakak, hehe."

EVANDER || BTSМесто, где живут истории. Откройте их для себя