Bersama Alesya, tidak ada sunyi yang mendominasi, gadis itu sambil makan saja masih sempat-sempat berbicara––padahal dari matanya terlihat berairan menahan rasa pedas. "Gimana Anjani, enak nggak? Pedesnya mantep kan?"

"Emm, enak banget..." Anjani mengacungkan jari jempolnya. Bola matanya sempat memerah akibat rasa pedas yang sudah tidak tertahan, bahkan es tehnya saja sebentar lagi habis karena keseringan minum.

"Are you okay, kan? Takut-takut nanti pulang malah mules, kan nggak lucu besoknya nggak sekolah," ujar Gea sedikit khawatir, namun Anjani cepat menggeleng kepala sambil terkekeh. "Haha nggak kok."

Jika ada yang lebih cepat dari orang yang lomba lari maraton, maka itu adalah Alesya yang sedang makan. Gadis itu jika urusan makan menghabiskannya sekejap mata, Anjani saja sampai terheran melihat isi mangkok Alesya tak tersisa kuah sedikit pun lagi.

"Omg, gue kenyang banget!"

Gelas yang berisi es teh sudah habis, gadis itu meletakkannya cukup kencang di atas meja kayu––menimbulkan bunyi yang bersamaan dengan sendawanya. Amanda terkekeh sebentar melihat, sedangkan Gea always kembali menjulid. "Malu-maluin banget lo di depan Anjani."

"Manusiawi itu mah," jawab Alesya santai.

Menghabiskan waktu bermenit-menit di tempat itu setelah usai memakan seblak mereka, masing-masingnya mulai bersiap untuk pulang ke rumah. "Lo naik apa pulang, Anjani?"

"Di jemput sama Papa, kayanya sebentar lagi sampai."

"Oh, kirain naik bus, biar bisa ikut sama gue aja, gue bawa mobil, tapi masih di parkir di sekolah," ujar Gea sembarinya mengoleskan lipstik yang tidak terlalu merah di bibirnya.

Pembicaraan mereka berdua sontak terpotong ketika Alesya angkat suara, "Gue pulang duluan ya, soalnya mau prepare, hehe. Si Dafa habis sholat magrib katanya langsung jemput gue."

Tepat setelah ucapan Alesya itu, mobil putih tiba-tiba berhenti di depan warung seblak. Lantas Alesya bangkit berdiri, usai berpamitan untuk pulang duluan, gadis itu segera masuk ke dalam mobilnya. Anjani menoleh ke arah dua temannya, meski sedikit ragu-ragu, mulutnya tetap bergerak untuk sekedar bertanya, "Dafa sama Alesya beda agama, ya?"

Amanda lebih dulu mengangguk. "Udah dua tahun mereka pacaran, langgeng kayanya."

"Mau berapa tahun pun pacaran bakal jadi sia-sia kalau temboknya tinggi banget," celetuk Gea.

***

Tidak ada tempat paling nyaman selain basecamp-nya Evander––para penghuninya sudah berkumpul sejak pulang dari sekolah tadi. Keenam manusia-manusia itu sudah tepar, ada juga yang asyik dengan dunianya––salah satunya Devan. Lelaki itu fokus dengan gitar kesayangannya, sesekali bernyanyi sendiri, atau diikuti Juna dan Dafa yang duduk bersebalahan menikmati pop mie mereka.

"Eh, si murid baru itu, gue udah tau namanya!" beritahu Dafa setelah usai menghabiskan pop mie gorengnya. Sedang Juna yang mendengar sedikit melotot, lantas cepat menyahut. "Saha?"

"An-anj––"

"––anjing?"

Bruk!

"Human kampret! Bukan animal!" Dafa memukul lengan Juna dengan botol minum yang sudah setengah miliknya.

"Lo sih, anj-anj, ya otak gue langsung tertuju ke anjing kan!"

Telunjuk jari Dafa sontak terarah di depan bibir Juna, meminta lelaki diam dulu karena ingatannya tiba-tiba buyar. "Sstt! Diem. Gue lupakan gara-gara lo, elah!"

Juna menurut, memilih kembali melanjutkan memakan pop mie-nya daripada menunggu nama murid baru itu dari Dafa. Berselang beberapa detik, Dafa kembali angkat suara, berteriak lantang yang membuat Juna hampir menumpahkan pop mie kuahnya ke wajah lelaki itu.

EVANDER || BTSWhere stories live. Discover now