5 7 - Apologize

143 28 14
                                    

vera : lo mau nitip?
vera : gw udh slesai makan

Aku mengalihkan pandanganku dari kumpulan rumus di hadapanku lalu mengetik balasan.

rena : gw mau roti isi deh
rena : td pagi cuma sarapan dikit
vera : ok bby

Aku tersenyum geli. Tidak ada Nathan, aku masih punya Vera. Haha.

Sekitar lima menit kemudian, Vera masuk ke kelas dengan Tora dan Rega di belakangnya.

"Hai, Ren." Tora dan Rega menyapa hampir bersamaan. Aku tersenyum lalu melambaikan tanganku membalasnya.

"Sekarang gak pernah makan bareng, ya?" sindir Rega tiba-tiba.

"Wih, beneran sibuk belajar, dong!" Tora tampak mengintip buku yang terbuka di hadapanku. Aku menepuk dadaku bangga, diam-diam berterimakasih kepada Vera karena benar-benar menyampaikan alasanku tidak bergabung karena aku belajar.

"Gue sama Tora ke perpus bentar, ya."

Aku mengangguk mendengar kalimat Vera lalu pasangan itu pun pergi, meninggalkanku dan Rega sendiri.

"Rega, tentang shift kerja itu," ucapku sambil membuka bungkus roti isi yang dibawakan Vera tadi. "Bisa kok, ambil satu doang."

"Serius?" Bisa kulihat mata Rega berbinar sepintas. "Mau, deh. Soalnya selama ini gue cari, tempatnya butuh yang bisa standby di semua shift. Kan, gue sekolah."

Aku ikut tersenyum senang. Tuh, kan? Lingkungan yang bahagia bisa membuatku bahagia.

"Bagus, deh. Nanti sore lo langsung ke tempatnya aja. Kata Ayah, gak banyak syarat buat masuk jadi paling langsung diterima. Besoknya langsung kerja."

Aku mengetikkan alamat restoran tempat Ayah bekerja itu dan mengirimkannya ke Rega.

"Makasih ya, Ren."

Aku menoleh, mendapati Rega tengah menatapku dalam membuatku jadi kelabakan sendiri.

"Iya, iya," jawabku sambil memalingkan wajahnya ke arah lain, sadar bahwa aku pernah memiliki perasaan terhadap lelaki ini. Jangan sampai terpancing keluar lagi.

"Lo sama Tora ke sini, terus Peter sama Nathan gimana?" tanyaku yang baru sadar.

"Tadi kayaknya Peter lagi ngomong sama Nathan, jadi kita tinggal aja. Ivan juga ada sama mereka, gak usah khawatir."

"...Peter lagi ngomong sama Nathan..."

Jadi Peter benar-benar ingin berbaikan dengan Nathan?

Aku benar-benar harus segera menraktir orang ini.

Aku kembali menggigit rotiku sambil berpikir apakah aku harus menanyakannya atau tidak.

"Fanya, gimana?" tanyaku akhirnya karena sudah lama tidak melihatnya juga.

"Masih sama, untung sekarang udah gak suka nyamperin gue tiba-tiba. Tapi ya, masih suka nyuruh-nyuruh." Rega menjawab tanpa beban, seakan itu sudah menjadi hal biasa dan rutinitasnya.

Aku manggut-manggut sambil tetap mengunyah roti isiku saat tiba-tiba bel masuk berbunyi.

"Gue balik dulu, ya. Sekali lagi, makasih banyak buat semuanya."

Aku mengiyakan, mengatakan bahwa itu bukan masalah, lalu melambai saat Rega melambai selagi berjalan keluar dari kelasku.

💨💨💨

rena : lagi sibuk?
rena : gw traktir kopi sini ehe
peter : oke otw

"Kalo traktiran aja, gercep." Aku mendengus geli lalu meminum kopiku lagi.

Tidak sampai lima menit, Peter sudah muncul dan duduk di depanku. Meminum kopinya tanpa bertanya mengapa aku tiba-tiba menraktirnya kopi tanpa sebab.

"Lo gak mau tanya dulu, kenapa gue traktir lo tiba-tiba?" tanyaku mengutarakan pikiranku. Peter mengangkat bahunya santai.

"Yang penting traktiran."

"Siapa tau gue kasih racun, terus traktiran itu cuma alibi supaya lo minum."

"Seenggaknya gue mati dengan traktiran."

Aku tertawa geli mendengar pemikiran Peter yang tampak sangat simple.

Aku berdeham sejenak, menyiapkan momen.

"Gue denger dari Rega, lo ngomong sama Nathan-"

Peter mengangguk, tampak langsung mengerti apa yang hendak aku bicarakan.

"Gue cuma bilang ke Nathan, gue minta maaf udah ganggu kalian. Dan dianya juga minta maaf ke gue, udah ngomong tanpa mikirin harga diri gue. Selesai. Tanya aja sama Ivan kalo gak percaya."

Aku tertegun seketika.

Nathan, dia mendengarkan kata-kataku.

Walaupun terlambat, tapi dia mendengarkan dan melakukannya.

Aku mengaduk kopiku, merasa semakin tak enak hati. Walaupun aku sudah bilang untuk putus, aku tetap harus minta maaf atas sikapku yang seakan menganggapnya bodoh.

"Kenapa, dek?"

Aku terkekeh seketika melihat Peter benar-benar mendalami perannya.

"Lo gak sakit apa, Pet?" tanyaku tak habis pikir. Peter mengernyit.

"Sakit apanya?"

"Ya, itu. Bantuin orang yang lo suka untuk bahagiain mantannya. Lo gak ngerasa apa-apa, gitu?" tanyaku sambil mengamati ekspresinya.

Katakanlah aku kurang ajar, tapi aku benar-benar tidak habis pikir dengan makhluk semacam dia.

Manusia yang tak hanya memikirkan kebahagiaannya, tapi juga berusaha memastikan bahwa orang-orang di sekitarnya juga baik-baik saja.

Peter melirikku sejenak sebelum kemudian menatap ke arah lain.

"Kalian berdua itu temen gue. Terserah hubungan kalian apa sebelumnya, kalian tetep temen gue. Temen kan, saling membantu?"

Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa dia tidak benar-benar menjawab pertanyaanku, yang artinya dia tidak mau membahasnya.

"Yah, pokoknya kalo lo butuh apa-apa bilang aja. Siapa tau gue bisa bantu," ucap Peter sambil bangkit berdiri karena kopinya juga sudah abis.

"Gue butuh kuota nih, Pet." Peter mendengus mendengar permintaanku.

"Dateng aja ke rumah gue kalo butuh WiFi."

"Jauh."

"Oh. Lo mau gue jemput, terus lo porotin data gue di sana? Oke, abis itu mau dianter pulang? Mau mampir makan ke mana gitu sekalian? Atau beli baju? Hm?"

Aku terbahak mendengar rentetan tawaran Peter yang penuh sindiran, benar-benar mengatakan bahwa aku tamak.

"Makasih traktirannya." Dia berlalu sambil melambai membuatku juga membalas lambaiannya.

Aku menatap ke gelasku yang masih tersisa setengah sambil merenung.

Iya, sampai kapan aku akan menghindari Nathan? Selepas ujian memang ada liburan sebentar, namun setelah itu semuanya akan kembali seperti biasa. Masa satu semester aku akan menghindarinya?

Ya, aku harus memperbaiki hubungan kami. Aku harus meluruskan semuanya.

Aku harus minta maaf.

💨💨💨

gatau mau ngmng apa disini..
jangan lupa makan ya :)

voment nya yuk!🐳

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Where stories live. Discover now