2 8 - No Reason

161 70 23
                                    

"Nanti mau main di rumah Nathan?" Vera tiba-tiba bertanya sesaat setelah bel istirahat kedua berbunyi. Aku mengangguk semangat.

"Mau!"

"Oke, jangan lupa lo izin dulu."

Aduh, iya juga.

"Iya," jawabku kemudian. "Ver, mau batagor gak? Yang kayak biasa."

"MAU!" jawabnya langsung lalu terdiam melihat aku menengadahkan tangan sambil meringis.

"Duit."

"Di mana-mana yang nawarin itu yang nraktir," sungut Vera namun kemudian tetap memberikan uang untuk batagorku dan batagornya.

Aku tertawa, berterima kasih, lalu melesat menuju kantin.

"Pak Tejo!" sapaku riang dengan bapak langgananku dan Vera ini. "Kayak biasa ya, pak! Dua porsi aja."

"Siap, neng."

Aku duduk di depan kiosnya sambil memberanikan diri untuk mengirim pesan ke Ibu. Bagaimana pun caranya, jangan sampai aku kena marah.

Ibu, apakah Ata boleh main di rumah teman nanti? Rumahnya yang di jalan Melati itu, dekat dengan sekolah. Jadi, Ata akan pulang naik bus. Boleh?

Sudah cukup sopan, kan? Tidak ada kata yang memancing emosi, kan?

Okay, send.

"Serius amat, ngapain?"

Aku langsung mendongak, melihat Rega berdiri di hadapanku. Aku meringis.

Duh, kok Rega mulu? Lama-lama gue jatuh lagi, nih. Mana tadi kena semprot pula.

"Lagi chat Ibu, izin nanti mau main. Lo nanti bisa ikut main?" tanyaku diam-diam penuh harap.

Sosok Rega yang paling bahagia kulihat saat dia sedang bermain, so why not?

"Duh, gue ada urusan pulang nanti. Skip dulu, deh," ucapnya membuatku akhirnya mengiyakan dengan sedih.

Batagorku pun kemudian jadi. Aku membayar lalu pamit kepada Pak Tejo. Seram juga berlamaan dengan Rega, nanti bisa-bisa aku diteror Fanya.

"Lo mau ke mana?" tanya Rega.

"Balik ke kelas," jawabku apa adanya.

"Gue anter, yuk."

"Hah?" Aku melongo heran. "Buat apa? Gak usah. Gue jalan sendiri aja."

Lagian gue takut dilabrak pacar lo lagi.

"Gapapa, gue juga ada urusan di gedung IPA," jawab Rega kemudian.

"Oh, mau apel pacar, ya?" godaku dan Rega hanya tersenyum kecil saja hingga akhirnya kami berdua berjalan beriringan menuju kelasku di lantai dua.

Di sekolahku ada empat gedung. Satu gedung kelas IPA, yang terbesar. Satu gedung untuk kelas IPS di lantai satu, dan kelas Bahasa di lantai dua. Dan satu gedung guru beserta aula, perpustakaan, dan kawan-kawannya. Dan satu lagi, tentu saja kantin.

"Gue minta maaf soal tingkah Fanya tadi," katanya saat kami menyeberangi lapangan. Aku tertawa kecil.

"Santai aja. Lagian wajar, kok. Cewek gak mau kalo pacarnya diganggu."

"Ya, tapi bahasanya dia agak kasar." Rega menggaruk tengkuknya. "Pokoknya gue minta maaf."

"Nggak masalah."

Kami mulai menapaki tangga. Gedung IPA juga punya lantai terbanyak. Total ada empat lantai dengan lantai satu laboratorium, lantai dua untuk kelas dua belas, lantai tiga untuk kelas sebelas, dan lantai empat untuk kelas sepuluh.

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang