3 3 - Brother

168 67 36
                                    

"Mikirin apa lagi?" tanyanya sambil menyerahkan es krimku lalu duduk di hadapanku. Aku meringis, ketahuan merenung lagi.

"Pacaran itu," kataku memulai. "Simbiosis parasitisme, ya?"

"Kok bisa?"

"Ya, gue mikir aja kayak lo anter gue pulang. Kan untungnya di gue, hemat waktu nunggu bus dan biayanya. Sedangkan lo rugi karena harus puter balik, lebih boros juga bensinnya. Jadi kan, harusnya-"

Nathan tiba-tiba menopang dahinya membuatku terdiam seketika.

"Kenapa?"

"Susah."

"Apanya?"

"Kayaknya bakalan susah pacaran sama manusia tanpa ilmu dasar kayak lo."

Aku meringis, sadar seratus persen bahwa aku benar-benar tidak sempurna.

"Kalo masalah anter jemput itu menurut gue udah pasti tugas cowok. Lo gak merasa aneh, kalo cewek yang jemput cowoknya? Selain melawan hukum alam, menurut gue juga nginjek harga diri si cowok. Ya, kecuali kalo keadaan darurat. Lo katanya suka baca novel? Harusnya tau kayak gitu, dong?"

"Iya, sih. Di novel juga cowok yang selalu jemput," ucapku lalu memakan es krimku. "Tapi kalo gue alami sendiri jadi kayak lebih mikir aja gitu."

"Gausah disamain sama teori. Siapa yang mau jemput, siapa yang mau bayar, bukan jadi masalah penting asal bisa bahagia bersama."

"Wah, terhura." Aku bertepuk tangan kecil sebagai bentuk apresiasi kalimat indah Nathan. Yang diapresiasi pun memasang tampang bangga.

"Ren, itu ada-"

"Apa?"

Dan tanpa aba-aba, ibu jari Nathan mendekat dan mengusap tepi bibirku. Aku terkesiap, langsung teringat adegan di novel, lalu bersiap memerahkan pipi.

Tapi ada yang aneh.

"Lo," panggilku saat jemari Nathan menjauh. "Boong, ya? Ini es krim, kalo ada noda pasti kerasa dingin. Dan gue gak ngerasa apa-apa."

Nathan terbahak membuat beberapa pengunjung menoleh sebentar. Aku menatapnya bingung.

"Lo emang unik."

"Jadi, beneran lo cuma modus?"

"Emang gak boleh modusin pacar sendiri?"

Kami tertawa kecil lalu melanjutkan makan. Aku menatapnya sebentar lalu teringat aku harus bertanya tentang pemublikasian hubungan ini.

"Mau tanya apa lagi?" tanyanya menyadari niatku. "Tanyain aja semua, orang pacaran harus saling terbuka."

Aku tersenyum baper sejenak sebelum memberanikan diri bertanya.

"Kita mau kasih tau ke temen-temen atau," Aku berdeham kecil. "Backstreet?"

Bisa kulihat Nathan terdiam sejenak sebelum kemudian bertingkah biasa.

"Kenapa lo tanya gue?"

"Hah?" Keningku berkerut. "Ya kan, hubungan ini dijalani dua pihak. Jadi harus ada persetujuan dari kedua belah pihak, dong?"

"Pinter." Aku berdecih mendengar pujiannya.

"Lo sendiri lebih pengen yang mana?" tanyanya balik. Aku menggaruk tengkukku, bingung juga.

"Kalo backstreet, keberatan nggak?" tanyanya lagi tanpa memberiku kesempatan menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Emh, nggak juga," jawabku walaupun hatiku setengah ragu setengah yakin.

WiFi [End]Where stories live. Discover now