5 6 - Moving

159 32 33
                                    

happy friday n happy 4k readers🤧
serius deh ah gatau lagi, pdhl baru 2minggu lalu tembus 3k..

HUEWMSKSWHWJAIWKAHS💕
(translate = tysm omg ilysm aaaa)

happy reading semwa cintakuh💙🐳

💨💨💨

"Hai, Pet!" sapaku ringan.

Hari sudah menjelang malam saat aku selesai mandi. Seingatku aku pulang dari makam, lalu sepertinya tidak sengaja terlelap walau sebentar, lalu bangun dan mandi. Ayah dan Ibu pun belum juga kembali sedari tadi.

"Kenapa, nih? Kayaknya lagi seneng." Suara Peter di seberang terdengar begitu penasaran.

Aku terkekeh kecil.

"Gue baru dapet pencerahan," ucapku jujur. Peter mendengus geli, mengatakan bahwa dia tidak percaya.

"Gue cuma mau tanya-tanya."

"Apa?"

"Gimana sekolahnya?" tanyaku lalu terbahak sendiri mendengar pertanyaanku. Peter juga tertawa kebingungan.

"Apa, sih? Kok kayak tante-tante."

Aku tertawa, masih tidak percaya bahwa kami bisa sesantai ini padahal adegan terakhir rasanya sangat memalukan. Bisa-bisanya aku menempelkan semua air mata dan ingusku di baju Peter.

"Ya, jawab aja!"

"Baik?" jawabnya ragu. Aku terkikik.

"Gak ada masalah, kan?"

"Kenapa? Lo mau bantu donasi? Kantong gue terbuka lebar," sambar Peter langsung membuatku tertawa lagi.

Iya, begini saja aku bahagia, kok.

"Gue cuma mau memastikan orang-orang di sekitar gue bahagia," ucapku apa adanya. "Karena gue yakin kalo sekitar gue bahagia, gue pasti bisa ikut bahagia."

Tak ada suara, membuatku berniat memanggil namanya saat tiba-tiba Peter menanyakan sesuatu di luar dugaan.

"Lo mau gue baikan sama Nathan?"

"Hah?" responku langsung. "Kok-"

"Katanya lo pengen bahagia. Kayaknya dengan memastikan bahwa Nathan bahagia juga bisa bikin lo bahagia."

Aku membekap mulutku dramatis. Bagaimana bisa dia sepeka itu?! Namun karena dia langsung tahu begini malah membuatku jadi mewek sendiri.

Aku harus menraktir orang ini.

"Gue sebenernya gak pengen ngomong gitu. Tapi lo malah-"

"Lo aja yang gak bisa nutupin niat lo sama sekali. Kayak tertera jelas di depan muka gue."

Aku tertawa lalu seketika tersadar.

BODOH?!

Peter kan, pernah bilang suka padaku! Apa dia tidak sakit hati sendiri mendapati niatku yang seakan meneleponnya hanya untuk mengetahui kabar mantanku?

Bodoh, Rena. Kamu sangat bodoh.

Bagaimana ini? Aku terlanjur diam terlalu lama. Pasti aneh jika-

"Ren,"

"Y-ya?" jawabku terbata karena terkejut mendengar dia tiba-tiba memanggilku.

"Lo bener mau anggap gue abang?"

Aku terbelalak, tidak menduga bahwa Peter akan kembali membahas celetukanku beberapa waktu yang lalu.

"Maksudnya apa?" tanyaku akhirnya karena bingung harus menjawab apa.

"Lo bilang, gue cuma sebagai abang di mata lo. Apa sampe sekarang masih?"

"Iya! Apalagi waktu baju lo gue ingusin, itu bener-bener lucu sekaligus malu-maluin. Kayak beneran-"

Aku terdiam seketika lalu membekap mulutku lagi dengan cepat.

BODOH, RENA. Kamu sungguh sangat amat bodoh sekali.

Dia sedang benar-benar menanyakan perasaaanku terhadapnya, dan aku malah membahas ingus.

Peter terdengar mendengus geli namun juga tedengar sedih. Entah aku yang salah dengar atau memang begitu, tapi-

"Yaudah, gue akan berusaha biar adek gue ini bahagia."

💨💨💨

Hari berganti. Aku bangun, mandi, memakai seragam, sebelum Ibu mendadak menyuruhku turun untuk sarapan.

Aku menelan rotiku dengan susah payah. Sarapan berlangsung hening, terlalu hening. Hanya terdengar dentingan sendok yang samar, semakin membuatku merasa diintimidasi.

Aku melirik Ayah dan Ibu bergantian yang tampak makan dengan tenang, seakan kejadian kemarin hanya ada di ingatanku saja.

Aku menarik nafas, berusaha mengabaikan kecanggungan yang ada dan melanjutkan rencanaku.

"Ayah, apa pekerjaan di restoran Ayah bisa ambil satu shift saja?"

"Ata memaafkan Ayah?"

Aku melebarkan mataku, tak menyangka Ayah ternyata masih menunggu jawabanku. Pantas saja sedari tadi hanya diam.

"Iya." Wajahnya langsung berangsur lega mendengar jawabanku.

"Mendengar kamu malah membicarakan temanmu, Ayah harap kejadian kemarin tidak terlalu mengguncangmu."

Aku tersenyum kecil.

"Ayah boleh berharap bahwa Ata harus berpikir dewasa dan rasional. Tapi masalah reaksi, mana ada anak yang tidak terguncang mendengar semua itu?" balasku dengan tenang. "Ata jelas sangat terkejut, namun Ata pikir itu semua bukan urusan yang bisa Ata selesaikan. Jadi, Ata berusaha untuk tidak memedulikannya dan membiarkan semuanya berlalu."

Ayah tampak terdiam sejenak, seakan mencerna kalimat panjangku barusan.

"Bisa ambil satu shift," jawabnya tiba-tiba kembali ke topik pertama. "Jika memang ingin, datang saja langsung ke restoran sore ini. Syarat bekerjanya tidak banyak, kemungkinan besar langsung diterima dan bekerja esok harinya."

"Baiklah. Terima kasih banyak, Ayah."

Aku meminum airku lalu melirik Ibu yang tampak mendengarkan semuanya. Bola mata kami bertubrukan, namun dengan cepat aku memutusnya.

"Ata berangkat sekolah dulu." Aku menyalami Ayah dan Ibu seperti biasa lalu berjalan ke halte di depan gang.

"Gue kira cerai itu gampang. Begitu ada surat, saling tanda tangan, selesai. Ternyata ada waktu untuk mikir juga, prosesnya juga kurang efektif. Ribet," gumamku sendiri, bercakap-cakap dengan benakku.

Kakiku menaiki tangga halte, lalu duduk di kursi di dalamnya sambil menikmati angin pagi yang selalu jadi yang terbaik.

Ah, mari membuat checklist.

"Jadi, hari ini ada traktir Peter, ngasih kabar Rega tentang shift, beli buku biologi, dan-"

Jeda.

"Memastikan Nathan bahagia."

Vera dan Tora? Jangan ditanya. Mereka asal ada satu sama lain pasti sudah bahagia.

Derum bus datang mendekat. Aku mengangguk yakin lalu berdiri.

Baiklah, terus bergerak!

💨💨💨

Rena be like:
gamau cerai karena cinta ❌
gamau cerai karena ribet ✔️

anak didikku itu ಥ‿ಥ

"If you can't fly, then run
If you can't run, then walk
If you can't walk, then crawl
Because whatever you do,
Keep moving."

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Where stories live. Discover now