4 4 - Hold On

145 37 40
                                    

HAPPY 2K READERS!💙🐳
sumpa ya kalian tuh, bikin seneng aja his skskskksk

happy reading semwaa🙆🏻‍♀️

💨💨💨

"Kita kayak suami istri, ya?"

Hah?

"Kok?" tanyaku mulai baper sendiri.

"Ya, kayak gue duduk sambil nungguin lo nyiapin makanan. Kayak, gimana gitu."

Iya, ya?

"Jangan banyak halu," bantahku berusaha terdengar tegas saat hatiku berdentum keras.

"Halu?" tanyanya tidak terima sambil menerima piringnya. "Lihat pipi lo, Siti! Merah kayak pantat monyet!"

Dasar.

"Lo kalo ngehujat gak tanggung-tanggung, ya?" cibirku lalu duduk di hadapannya. Dia tergelak.

"Iya, dong. Biar mantep."

Aku mendengus lalu mulai makan, dia juga makan bagiannya.

Hening.

Kenapa rasanya jadi canggung?

Nathan juga tampaknya merasa. Dia berdeham lalu meminum airnya.

"Habis ini mau ngapain?" tanyanya.

"Lah, mana gue tau? Lo yang ke sini tanpa diundang, gue kira lo mau ngapain."

"Hmm," Nathan tampak berpikir. "Jalan-jalan ajalah. Ke mana gitu."

"Oke," jawabku singkat lalu hening lagi.

Sampai suapan terakhir, tidak ada percakapan lagi. Aku baru saja meneguk airku saat tiba-tiba Nathan mendesah kasar.

"AH!"

Tersedak. Aku tersedak.

Dia tertawa terbahak-bahak melihat air dari mulutku yang bertetesan. Bukannya menjijikan, malah ditertawakan.

"Diem. Karma otw," sinisku membuatnya tertawa lagi tapi sialnya dia tidak tersedak juga.

Apa karma sedang cuti?

"Kenapa sih, lo? Punya masalah hidup? Tiba-tiba ngagetin gitu," tanyaku kesal sambil membersihkan tetesan-tetesan air.

"Lo gak merasa aneh?" tanyanya balik. "Kayak hubungan kita tuh, gak berkembang. Pacaran sama temenan sama aja rasanya."

Loh, berarti genggaman tangan kita di bioskop tidak spesial? Hiks, baiklah.

Tapi memang benar, sih. Hanya adegan itu saja yang menunjukkan kami berpacaran. Setelah itu, tidak ada lagi yang istimewa. Kecuali teleponnya setiap malam.

"Terus gimana?" tanyaku. Dia mengangkat bahunya ringan.

"Yaudah. Let it flow."

Mendengar jawabannya membuatku merasa sedikit bersalah. Aku menembaknya juga sebenarnya tidak benar-benar siap. Yah, kira-kira 7/10 karena paksaan dari ego. Tapi dia menerimanya, membuatnya mungkin merasa digantung? Dipermainkan?

Entahlah.

"Nata,"

"Hm?" gumamku sebagai jawaban, membiasakan diri mendengar panggilannya untukku yang cukup manis sebenarnya.

"Gue rasa, kita harus mu-"

Bunyi dering telepon dari handphone-ku membuatku menggeram dalam hati, penasaran dengan apa yang hendak dikatakan Nathan.

"Bentar," kataku lalu pergi mengambil handphone-ku di ruang tamu.

Aku siap mengutuk sang penelepon saat aku terkejut melihat namanya lalu tanpa pikir panjang mengangkatnya.

"Halo?"

Hening. Tidak ada suara apapun di seberang sana. Aku bingung harus memanggil namanya atau tetap diam saja.

"Haloo?" kataku sekali lagi. Tidak kunjung ada jawaban, sama sekali tidak ada-

"Cih!"

Aku terdiam seketika.

Suara ini, aku kenal.

"Pelakor."

Aku hampir menyebut namanya saat teringat ada Nathan di dapur. Aku tidak ingin membuatnya bertanya-tanya, jadi aku hanya diam, menunggu apa lagi yang akan dikatakan Fanya lewat handphone Rega ini.

"Lo semalem sama pacar gue kan, anj-"

"Tolong yang sopan bahasanya," tegasku langsung. Dia tertawa memaksa.

"Bacot."

Sepertinya dia mabuk.

Aneh sekali mabuk di siang hari.

Atau memang dia tidak mabuk? Dia mengatakannya secara sadar?

Hm, tidak heran juga.

"Terserah," jawabku lalu langsung bersiap mematikan telepon.

"Lo tuh, ya?" katanya lagi. "Kelihatan luarnya aja baik, kalem. Nyatanya cuma jala-"

Tut.

Aku mematikan telepon langsung sambil memejamkan mata.

Sabar. Sabar. SABAR.

Aku melempar handphone-ku ke atas sofa. Tidak mau emosi, tapi tetap rasanya kesal setengah mati.

MISI, MBAK? KALO GAADA AKU, PACARMU UDAH DIGONDOL TANTE-TANTE TADI MALEM! NGERTI?

Tahan. Tahan.

Rasanya tidak adil saja! Aku sudah berusaha membantu, sampai mengabaikan kekasihku sendiri, sekarang malah dituduh pakai kata-kata kasar. Mana tidak berdasar lagi!

Ingin mencekik sesuatu.

"Nata?"

"Hah?" Aku langsung menoleh, terkejut melihat Nathan yang sudah ada di belakangku.

Apa mencekik Nathan saja, ya?

"Siapa yang telepon?" tanyanya penasaran sekaligus mengembalikan akal sehatku.

"Oh?" Berpikir cepat. "Gak tau, gak kenal. Salah nomer kali."

"Kok wajah lo kayak orang marah gitu?"

"Dia pakai kata kasar," jawabku sesuai fakta. "Ya, gue kesel lah! Gue gak tau apa-apa, tiba-tiba diumpatin kayak gitu."

Nathan terkekeh sejenak lalu tiba-tiba melangkah mendekat.

"Mau apa lo?" Aku memasang kuda-kuda.

Dia terbahak sejenak.

"Gapapa," katanya lalu mengelus kepalaku. "Orang kayak gitu gak usah dipikirin. Paling cuma gabut aja."

Aku diam menyetujui. Tiba-tiba teringat apa yang hendak dikatakan Nathan tadi. Melirik ke arah Nathan, dia tidak terlihat hendak melanjutkan pembahasan tadi.

Yah. Penonton kecoa.

Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya seperti hendak mengajak salaman. Aku menyerngit.

"Apa?"

Dia tetap diam dengan tangan terjulur membuatku akhirnya menjabat tangannya.

"Tiga, dua, satu. Deal!" Aku berkata asal dengan nada aneh, mengikuti ucapan di salah satu acara TV. Nathan tersenyum geli namun tidak melepaskan genggamannya. Malah semakin erat.

Hangat.

Pipiku rasanya memanas. Padahal genggaman ini lebih simple daripada yang di bioskop, seperti jabatan orang pada umumnya.

Tapi mungkin karena aku bisa melihat dengan jelas bagaimana tangan kami bertaut, saling merasakan kehangatan telapak masing-masing, dengan jari menggenggam erat, membuatku jadi malu sendiri.

Nathan melihatnya, namun dia hanya tersenyum geli.

"Yuk, jalan."

💨💨💨

WiFi [End]Where stories live. Discover now