0 5 - Number

258 119 63
                                    

Rumah Nathan benar-benar nyaman. Aku bahkan tahan berjam-jam di sana, meskipun tanpa handphone. Ralat, Nathan yang sudah kutanya ratusan kali namun tidak mau memberi tahu password WiFi-nya.

Jadi sedari tadi kami hanya mengobrol, saling mengenal satu sama lain, sambil bercanda.

Aroma kopi yang menyerbak dan kesejukan dari pendingin ruangan membuat suasana tidur yang sangat kuat. Bahkan Peter sudah tertidur pulas sekitar setengah jam yang lalu.

Saat aku sedang mendengarkan Vera yang tengah bercerita tentang pertemuannya dengan Tora—yang tentunya sudah sangat kuhafal karena dia menceritakannya terus setelah Tora mulai mendekatinya–Ibu meneleponku.

Aku beranjak ke dapur, tak ingin mengganggu Vera yang tengah asik bercerita.

"Ya, Bu?"

"Sudah jam enam. Kamu di mana?"

Wajar jika Ibu bertanya karena aku biasanya selambat-lambatnya pulang jam lima. Apalagi aku lupa memberi tahu Ibu bahwa Vera mengajakku menemaninya.

"Ata di rumah teman. Dekat sekolah."

"Kapan pulang? Ibu hendak menjemput Ayah. Ibu jemput sekalian, ya?"

Aku tahu walaupun nada Ibu bertanya, sama saja aku tidak bisa menolak.

"Iya."

"Di mana alamat rumah teman kamu?"

"Sebentar, Ata tanyakan dahulu."

Baru saja aku berbalik hendak memanggil Nathan, ternyata sosoknya sudah ada di belakangku.

"Melati 8 nomor 42," jawabnya langsung.

Setelah mengatakan alamat rumah Nathan, Ibu menutup telepon. Kulihat Nathan memandangiku aneh.

"Formal amat."

"Nguping?" tanyaku balik mengabaikan kalimatnya. Dia meringis kecil lalu mengikutiku bergabung ke ruang tamu.

"Mau dijemput, Ren?" tanya Vera langsung. Aku mengangguk sambil membereskan tasku.

Sambil menunggu Ibu, aku kembali masuk ke obrolan. Entah bagaimana awalnya, mereka tiba-tiba membahas orang bernama Sheryl.

"Sheryl?" tanyaku mencoba mengingat. "Oh, mantan sekretaris OSIS itu, ya?"

"Iya," jawab Vera. "Mantannya Nathan juga."

"Wow," kataku. "Kenapa putus?"

"Dia kepergok selingkuh, haha!" jawab Vera dengan kepuasan tersendiri. Memang, ghibah adalah yang terbaik.

"Emang Sheryl-nya gampangan, sih." Nathan, selaku mantan pacar, menimpali.

"Terus? Lo kok mau? Apa tipe lo emang yang kayak gitu?" godaku membuat Vera mengacungiku jempol.

"Bagus, Renata. Tindas dia."

Aku tertawa puas sekali diikuti yang lain, lalu obrolan terus berlanjut sampai kudengar suara mobil di depan rumah.

"Itu kayaknya Ibu," ujarku lalu berdiri. "Gue pulang dulu, ya. Ketemu lagi besok. Bye!"

Nathan ikut berdiri, mungkin sebagai tuan rumah yang baik, mengantarkan tamunya ke luar. Kami akhirnya berjalan ke luar bersama, sampai kulihat mobil Ibu tepat di depan rumah Nathan.

"Makasih, Nath. Gue balik dulu."

"Awas kesandung angin."

Aku mengernyit. "Apasih, gak lucu."

"Oh. Hahaha." Nathan menjawab dengan nada datar membuatku terkekeh sejenak sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi.

Aku membuka pintu depan mobil dan langsung mendapati Ibu yang tengah mengamati Nathan dari balik kemudi.

Tanpa sepatah kata, aku naik ke samping Ibu dan mobil pun langsung melaju ke tempat Ayah bekerja.

Ibu masih diam, membuatku canggung dan memilih untuk membuka suara terlebih dahulu.

"Itu tadi temannya pacarnya Vera."

"Oh," jawab Ibu cepat. "Berarti kalian tidak berdua saja kan, di dalam?"

Aku mendelik sekilas.

"Tidak. Ada Vera dan beberapa teman lainnya."

"Bagus. Jangan macam-macam."

Aku meneguk ludah. Sepertinya Ibu tidak sedang dalam mood yang baik.

Restoran tempat Ayah bekerja juga tidak terlalu jauh dari rumah Nathan, jadi dengan cepat Ibu sampai.

Ayah mengambil alih kemudi, Ibu bergeser ke tempatku, dan aku berpindah ke belakang.

"Loh, Ata? Tumben ikut menjemput Ayah," tanya Ayah sembari mulai melajukan mobil menuju ke rumah.

"Dia juga barusan pulang," jawab Ibu langsung membuatku meringis.

"Sesore ini?"

"Iya, tadi Ata main dulu sebentar sama teman-teman. Maaf tidak bilang," ucapku langsung.

Memang mereka lebih suka memanggilku "Ata" daripada "Rena". Katanya, lebih terasa kekeluargaan.

Dari mana coba.

"Oh," Ayah mengangguk-angguk, langsung paham akan keadaan. "Lain kali izin dulu ke Ayah atau Ibu, Ata. Bukannya melarang, tapi supaya tidak membuat khawatir."

"Iya, Yah."

💨💨💨

Selesai mandi, kudengar notifikasi beberapa kali dari handphone. Tanpa membuat rasa penasaran menumpuk, aku membukanya.

Beberapa pesan dari nomor tak dikenal. Aku mengerutkan keningku.

xxx : hai rena
xxx : ini yg tadi bikin esteh

"Rega?" tebakku sambil terkikik pelan, menyimpan nomornya, lalu mengetik balasan.

rena : iya mas, gmn?
rena : uang sy kurang?

Membuka pesan lain.

xxx : p

"Hah?" Aku membuka foto profil orang tadi lalu mendengus setelah tahu bahwa itu Nathan.

rena : y

Setelah dipikir-pikir, pasti Vera yang membagikan nomorku kepada mereka.

Rega membalas.

rega : wkwkw
rega : btw nama kita lucu
rega : rega rena

"Lah, baru sadar?" Aku tersenyum geli.

rena : wkwk iya jg ya?
rega : bagus nih
rega : klo bersisian d undangan

Aku mengerutkan kening, berusaha memahami balasan Rega.

"Undangan apa? Dia ulang tahun?" gumamku sendiri lalu memutuskan untuk menjawab sembarangan supaya tidak dikira lemot.

rena : wah iya bener bgt

Handphone bergetar, tanda ada pesan dari orang lain.

nath : naunskahsjsbs

Aku mendesah, tidak mengerti apa maksud dan tujuan dia mengirim se-absurd ini.

Tapi yah, apa boleh buat?

rena : hahsbajisjsksinm

💨💨💨

kwhwjhsjsnshlwjshns

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Where stories live. Discover now