4 2 - Regret

259 51 46
                                    

Karena ini hari Minggu dan masih pagi sekali, aku memutuskan untuk pergi jogging sekalian ke pasar untuk membeli telur sebagai menu makan dua hari ke depan.

Tidak akan bosan karena telur punya banyak "cabang". Telur mata sapi, telur dadar, telur orak-arik, telur kecap, dan masih banyak lagi.

Anak kos can relate.

Aku sudah di dalam pasar sekarang, dengan jemari yang asyik memilih telur yang kelihatan elok sekaligus mengatur nafas selepas berlari ke sini.

"Renata?"

Kepalaku menoleh ke samping, terkejut melihat Peter yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.

Bagaimana bisa? Mataku turun lalu seketika lebih terkejut lagi melihat pakaian yang dipakainya.

"Lo ngapain di sini?" tanyaku reflek. Rasanya pasar bukan tempat yang cocok untuk bentukan macam dia.

Peter mendengus, menyadari aku meremehkannya.

"Gue nyari orang buat dipalak."

"Oh," jawabku. "Wajar."

"Heh!" Dia menyentil keningku yang malah membuatku tertawa. "Emang image gue sesangar itu ya, di pikiran lo?"

"Iya, apalagi outfit lo kayak gitu."

Peter melihat pakaiannya lalu mendengus, tidak bisa menyangkal perkataanku.

Saat ini dia memakai kaus oblong tanpa lengan, kolor, dan sandal jepit. Membuatku mau tak mau salah fokus dengan "bola-bola" di lengannya.

Maafkan pikiran mesumku.

"Rumah lo kan, jauh dari sini. Kok bisa sampe sini?" tanyaku sambil mengalihkan pandanganku ke telur lagi.

"Mama gue nginep di rumah temennya, di deket sini. Pagi-pagi gue disuruh jemput ke sini, makanya gue pake baju tidur. Taunya malah mampir pasar dulu." Aku ber-oh ria mendengar penjelasan singkatnya sambil terus memilih telur.

"Cari telur yang cangkangnya ada tai ayamnya," katanya tiba-tiba. "Terjamin asli barusan ke luar."

"Apa, sih?" Aku meringis antara geli dan jijik sambil menepis tangannya yang hendak memilihkan telur untukku.

"Dibilangin gak percaya," cibirnya. "Sini!"

Dia merebut plastik berisi telur-telur pilihanku dengan paksa lalu menambahnya dengan telur-telur pilihannya. Aku akhirnya hanya diam sambil mengamatinya.

Yah, sebenarnya Peter tidak terlalu buruk. Aku kadang hanya melebih-lebihkan. Dia juga tidak se-"preman" itu kok.

Yang membuatku ngeri adalah kadang di suatu jenis seragam, otot lengannya bisa tercetak dengan sangat jelas. Mungkin bagi perempuan lain satu kata yang terlintas adalah "macho". Tapi bagiku, satu kata yang terlintas adalah "tawuran".

Haha, entah mengapa.

Rambutnya lurus disisir ke belakang. Alisnya yang tebal sering menukik tajam dan matanya juga sering melirik sinis. Wajahnya memang kadang terlihat garang, tapi secara keseluruhan, Peter tidak bisa dimasukkan kategori jelek.

Lagipula, tampan kan relatif?

"Gue tau gue ganteng." Peter tiba-tiba mendapatiku yang tengah mengamatinya.

Iya, sih. Tapi tetep pengen nabok.

"Lo gak mau pinjem komik yang lain?" Aku mengernyit mendengar pertanyaan Peter yang tiba-tiba sebelum aku sempat menggerakkan tanganku.

"Emang kenapa?"

Dia mengangkat bahunya acuh sambil tetap memilih telur.

"Biar lo ada urusan sama gue."

"Kenapa gue harus ada urusan sama lo?"

"Biar kita tambah deket."

Aku terbahak, apa yang sebenarnya mau dia sampaikan kepadaku?

"Apasih," ucapku. "Kayak pedekate aja."

"Emangnya kenapa?" balas Peter.

Aku tergelak lagi. "Lo tanya 'emangnya kenapa'? Emang lo beneran suka sama gue?"

"Kalo iya, kenapa?" Jawabannya yang terdengar santai membuatku terdiam seketika namun secepat mungkin menyanggahnya.

"Gak lucu. Lagian lo kan, abang gue." Aku memukul bahunya sok akrab, dan dia mendengus.

"Gue kan udah bilang, gue gak sudi jadi abang lo," katanya membuatku tersenyum geli.

"Kenap-"

"Renata?" Aku menoleh lalu segera membungkuk kecil penuh hormat kepada Tante Piona.

"Selamat pagi, Tante."

"Wah, kamu habis olahraga, ya?" sahutnya setelah melihat pakaian jogging-ku. "Rajinnya~ ambil, Pet!"

Aku tertawa sedangkan Peter melengos melihat kebiasaan Ibunya.

"Rumah Rena di sekitar sini?"

"Iya, Tante."

Lalu Tante Piona menceritakan bagaimana dia dan Peter bisa sampai sini, persis seperti yang diceritakan Peter tadi. Hanya versi yang lebih detail dan lebih panjang.

"Rena mau pulang?"

"Iya nih, Tan. Sudah selesai belinya," ucapku selepas membayar telur yang dipilihkan Peter tadi.

"Bareng aja, yuk! Tante juga mau pulang."

"Nggak usah, Tan. Ngerepot-"

"Hais, kan sejalan. Ayo, Pet!"

Akhirnya aku mengikuti langkah Ibu dari Peter ini karena sungkan mau menolak.

"Tante kok duduk di belakang?" tanyaku heran melihatnya malah membuka pintu belakang.

"Tante mau telepon temen. Kamu duduk di depan aja, temani Peter nyetir," katanya seakan kursi depan dan kursi belakang berjarak tujuh meter.

Aku menurut dan akhirnya duduk di sebelah Peter. Dia juga tampak biasa saja sambil mulai melajukan mobil keluar dari area pasar.

"Gue baru tau lo bisa nyetir mobil," ucapku pelan di sela-sela ocehan riang Tante Piona dengan temannya di seberang telepon.

"Gue tuh, bisa semua." Nada sombongnya membuatku berdecih kecil walaupun setengah setuju.

Dia terkekeh tanpa suara sambil tetap memerhatikan jalan lalu memutar setirnya dengan satu tangan, terlihat sangat mulus dan ringan.

Mengapa Peter dengan pakaian santainya di balik kemudi terlihat, keren?

Sadar, Renata. Nathan! Nathan!

"...jadi, setia itu bukan tentang 'aku hanya suka kamu' tapi tentang 'aku hanya pilih kamu'..."

Kalimat Vera tiba-tiba melintas di pikiranku. Iya, ternyata begini rasanya. Memang tertarik dan suka, tapi tetap memilih yang sama.

"Kalo iya, kenapa?"

Tapi kenapa tadi Peter menjawab begitu? Malah membuatku berpikir yang tidak-tidak.

"Ini kan, rumah lo?" Aku menoleh ke luar lalu mengangguk kemudian berbalik ke belakang.

"Tante, Rena pulang dulu. Terima kasih," kataku pelan tak mau mengganggu percakapannya. Tante Piona mengangguk mengerti lalu membiarkan aku menyalami tangannya sebelum kemudian melambai dengan bibir yang tak berhenti berbincang.

"Dah, Pet. Makasih," ucapku kepada Peter. Kami ber-tos ria lalu aku keluar sembari melambaikan tangan ke arah mobil yang berlalu.

Aku membuka pintu rumah dan terkejut mendengar handphone yang sengaja kutinggal di ruang tamu berdering tanda telepon masuk.

"Nathan?" gumamku heran mengapa dia menelepon seawal ini.

"Halo?"

"Gue nyesel pacaran sama lo."

💨💨💨

terus putus.
the end.











BECANDA THE END🐳
*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang