4 8 - Prepare

248 43 29
                                    

"Cerita gue tadi gak usah terlalu dipikirin," ucap Rega tiba-tiba saat aku turun dari motornya karena kami sudah sampai di depan rumahku. "Gue cuma mau ada yang dengerin, gak perlu bantu selesaiin. Toh, itu juga salah gue."

"Gue bakal cari cara buat bantu lo," ucapku tegas. "Yang penting sekarang, lo gak boleh mabuk lagi. Apalagi sampe utang minum."

"Iya," jawabnya sambil tersenyum, tampak lebih lega dari sebelumnya. "Makasih sekali lagi, Ren. Gue balik dulu."

"Iya, tiati."

Aku menunggu Rega hilang dari pandanganku, baru aku masuk ke rumah.

Aku memijat keningku. Huft, hari ini banyak sekali yang terjadi sampai aku kesusahan mengingatnya.

Ah, iya. Peter. Dia menyatakan perasaannya padaku. Bagaimana cara memberitahunya bahwa aku sudah ada Nathan?

Nathan. Dia mengantar Sheryl pulang.

Aku mengecek handphone-ku, melihat apakah ada balasan darinya yang tidak sengaja kulewatkan.

rena : oke tiati (read)

"Dibaca doang?" gumamku heran setengah kesal lalu menekan ikon telepon begitu saja.

Beberapa detik kemudian, panggilan terhubung. Namun tak ada suara di seberang.

"Halo?" Tak ada jawaban, tapi aku yakin Nathan mendengarkan di seberang sana.

"Lo marah sama gue?" tanyaku langsung.

"Nggak," jawabnya kemudian.

"Terus kenapa chat gue cuma dibaca? Kenapa lo nganterin Sheryl pulang?" tanyaku tanpa pikir panjang.

"Kenapa lo ngobrol sambil pegang tangan Rega? Kenapa Peter sampe ngelus kepala lo?"

Aku terbelalak mendengar balasannya.

"Jadi lo bales dendam?"

"Emang kenapa?"

Aku mendesah kasar. Hubungan backstreet benar-benar tidak menyenangkan.

"Soal Rega, gue belom bisa cerita sekarang. Kalo Peter," Aku meneguk ludahku. "Dia bilang dia suka sama gue."

"Oh, yaudah. Sama Peter aja sana."

"Hah? Kok gitu?" Aku memijat keningku. "Gue ngomong gini karena lo pacar gue. Gue mau tanya gue harus gimana-"

"Lo bahkan gak mau ngeliat muka gue sepanjang istirahat. Jadi, semua kejadian kemarin itu gak ada artinya?"

Aku ternganga, tersadar bahwa Nathan salah paham total. Tapi, masa aku harus menjelaskan yang sejujurnya?

"Gue malu!" seruku akhirnya, memutuskan untuk jujur. "Gue makin gak kuat lihat wajah lo setelah kemarin kita barengan terus. Gue takut gue makin-"

"Suka?" potong Nathan tiba-tiba.

"Ya," jawabku. "Maaf kalo malah bikin lo salah paham. Tapi gue gak ada maksud negatif sama sekali."

Nathan diam sejenak, lalu menghela nafas.

"Gue juga minta maaf udah nyimpulin seenaknya."

Aku tersenyum, sedikit lega melihat sudah berhasil meluruskan keadaan walau tak seberapa.

"Tentang Peter," ucapku perlahan. "Gue coba ngomong sama dia berdua dulu, baru lo bilang ke semua. Mau gimana pun, kita juga harus jaga harga dirinya."

Tak ada jawaban selama beberapa detik.

"Ada apa sama Rega?" tanya Nathan tanpa mengiyakan kalimatku sebelumnya.

Aku terdiam, teringat bahwa Rega memastikan bahwa aku masih menjadi secret keeper.

Bolehkah aku menceritakannya ke Nathan?

Tidak. Ini rahasia Rega. Aku harus menghargainya.

"Dia, minta dirahasiain," jawabku akhirnya. "Tapi gue janji, kalo udah selesai semuanya, gue bakal cerita ke lo. Oke?"

Nathan masih diam membuatku tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Gue nggak main di belakang lo," kataku akhirnya. "Kalo emang itu yang lo khawatirkan."

Terdengar helaan nafas dari seberang.

"Maaf gue udah paranoid sendiri," katanya membuatku ingin sekali menepuk punggungnya lembut.

"Gapapa, gue juga pasti jadi kayak lo kalo ada di posisi lo. Gue minta maaf sekali lagi."

"Baikan?"

"Baikan," ulangku sambil tersenyum lega. Ini pertengkaranku dengan Nathan yang benar-benar bertengkar. Aku bahkan sempat merasa takut bahwa aku tidak akan bisa meluruskannya dengan baik.

Setelah beberapa patah kata, telepon akhirnya selesai. Nathan katanya ingin mengunjungiku, namun dia masih sibuk dengan urusannya. Aku tidak mau membebaninya jadi aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja sehingga dia tidak perlu datang kemari.

Urusannya apa, aku juga tidak tahu. Satu masalah baru saja selesai. Aku belum mau memancing yang lain untuk dimulai.

💨💨💨

"Panas," gumamku sambil memegang leherku lalu berdecak.

Selepas perbincangan berat dengan Nathan tadi, aku memutuskan untuk tidur siang sekadar melepas penat sebentar. Namun begitu membuka mata bisa kurasakan tubuhku tidak dalam kondisi yang baik.

Hari sudah cukup petang, namun Ayah Ibu juga belum pulang.

Aku mengeringkan wajah yang baru saja kubasuh karena rasanya aku tak sanggup untuk mandi. Badanku terasa panas-dingin, kepalaku terasa sakit, dan mataku terasa berat walau aku tidak mengantuk.

"Mana besok sekolah, masa jelang ujian bolos?" Aku menggerutu sambil perlahan turun ke bawah, mencari obat yang mungkin bisa membuatku merasa sedikit lebih baik.

Seusai menelan obat yang kutemukan, kurasakan handphone di saku piyamaku bergetar lama.

"Peter?" gumamku kaget karena kukira Nathan yang menelepon.

"Halo?"

"Hai, Ren."

"Hai?" jawabku dengan tanda tanya.

Peter diam sejenak.

"Tentang kalimat gue waktu istirahat tadi, gak usah terlalu dipikirin. Bentar lagi ujian, lo fokus ujian dulu aja."

Astaga. Bisa-bisanya aku lupa.

Aku harus memberitahu Peter lebih dulu bahwa aku sudah tidak sendiri. Tapi apakah sekarang waktu yang tepat?

Tidak, lebih baik bicara langsung supaya aku bisa melihat ekspresinya, bagaimana perasaannya nanti. Lagipula jika telepon, aku takut dia tiba-tiba memutuskan sambungan lalu kami menjadi berjauhan.

"Ren?"

"Ya, gue denger," jawabku keluar dari lamunan.

"Ya, pokoknya gitu aja." Peter berdeham. "Jangan kaget kalo gue agak berubah."

"Berubah gimana?" tanyaku bingung.

"Ya, pokoknya siap-siap aja."

Ah, aku tidak suka perubahan.

💨💨💨

kalian jg siap siap ya:))

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu