5 2 - Plan

133 28 47
                                    

ReTer MANA SUARANYA?!
this part is belong to you fellas🐳

enjoy, xoxo.

💨💨💨

"Resiko?" ulang Peter.

"Ya," jawabku. "Dari awal, hubungan backstreet itu gampang bikin salah paham. Harusnya gue tau itu dan coba ngelurusin semuanya, bukan malah nyerah gitu aja."

Perdebatanku dengan Nathan langsung terlintas begitu saja di benakku.

Ya, Nathan memang marah dan terus menyudutkanku, tapi dia melakukan itu karena dia ingin tahu kebenarannya. Bukan sepertiku yang langsung pasrah dan berkata untuk menyudahi semuanya.

Sepertinya ini semua memang salahku.

Coba saja jika aku lebih berusaha sedikit lagi, pasti kami tidak akan..

"Rena, lo kenapa?" tanya Peter langsung begitu aku menutup mataku yang lagi-lagi berair.

"Gue ke toilet bentar," ucapku lalu berdiri membelakangi Peter yang tampak kebingungan.

Iya, ini semua salahku.

Aku bisa melihat raut kecewa Nathan sekilas saat aku berkata tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Dia pasti sakit hati dengan sikapku yang begitu mudahnya menyerah.

"Ren-"

"Gue," isakku. "Gue bodoh banget. Coba kalo gue mau usaha dikit. Pasti, pasti gak akan-"

Tepukan pelan di punggungku terasa. Peter berdiri di sebelahku dengan tangannya terus bergerak menenangkanku.

"Dia pasti kecewa berat," kataku lagi di antara air mataku. "Gue harusnya bisa pikir panjang. Gue gak seharusnya langsung bilang selesai gitu aja."

Peter terlihat terkejut, namun tidak berkata apa-apa.

"Ini semua salah gue. Coba kalo gue gak pacaran sama Nathan, coba kalo gue gak temenan sama kalian, coba kalo Tuhan gak ciptain gue, ini semua gak akan terjadi."

Buktinya begitu aku lahir, semuanya langsung kacau. Bunda yang pergi meninggalkan kesedihan, Ayah yang terpaksa mengadopsiku, Ibu yang terbebani oleh keberadaanku, Paman yang terjebak dalam tanda tanya, semua karena aku lahir.

"Lo boleh nyalahin manusia, lo boleh nyalahin keadaan, tapi lo gak boleh nyalahin Tuhan yang udah kasih lo hidup." Tepukan Peter berganti menjadi elusan di bahuku.

"Ngapain ngasih hidup kalo gak berguna buat siapa-siapa?!" tanyaku nyaris menjerit. "Begitu gue lahir, semuanya hancur. Semuanya-"

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, tak ingin Peter melihatnya. Isakanku semakin menjadi-jadi saat tiba-tiba Peter mendekapku erat.

Aku bisa mendengar detak jantungnya di sebelah telingaku. Satu tangannya setia mengelus bahuku pelan dan satu tangannya mengusap kepalaku lembut. Mulutnya berdesis lembut, seakan tengah berusaha menenangkan seorang anak kecil. Badannya bergoyang sangat perlahan, membuatku juga ikut terayun lambat dalam pelukannya.

Air mataku malah semakin deras merasakan perhatiannya. Kapan terakhir kali aku menangis dalam pelukan seseorang? Bahkan seingatku sepertinya tidak pernah.

Rasanya, rasanya aman. Seperti tempat di mana aku bisa meluapkan segalanya, sampai aku berani menenggelamkan kepalaku di dadanya ketika isakanku semakin tak terkendali.

"Kenapa," lirihku. "Kenapa lo baik banget? Pa-padahal gue udah nyakitin perasaan lo. Kenapa lo ma-masih di sini?"

Peter terdengar terkekeh sebentar mendengar pertanyaanku yang sesenggukan itu sebelum semakin mengeratkan pelukannya.

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang