3 1 - POV (S2)

170 66 26
                                    

[ S E A S O N 2 ]

***

ADUH, SEKOLAH!

Aku tidak pernah merasa segugup ini untuk pergi ke sekolah. Aneh sekali. Padahal jika langsung bertemu dengan Nathan rasanya tidak seheboh ini. Tapi jika sedang bersiap untuk bertemu dengannya, aku tidak bisa berpikir jernih.

"Dandan nggak, ya?" gumamku. Biasanya aku hanya mengoleskan bedak dan sedikit lipcream. Apa aku pakai blush sedikit?

"Hais, gak usahlah! Daripada berlebihan."

Aku berdandan seperti biasa, mengambil tas, lalu turun, melihat Ayah sudah menunggu dengan kunci motor di tangannya.

"Ayah? Tidak berangkat kerja?" tanyaku. Ayah menoleh lalu bangkit berdiri.

"Ayah hari ini dapat shift malam. Ayo, Ayah antar ke sekolah."

Biasanya, Ayah sudah berangkat kerja dari subuh karena dia termasuk koki sarapan di restoran tempatnya bekerja. Jadi, aku berangkat bersama Ibu jika aku bangun lebih pagi dan berangkat naik bus jika aku bangun dengan jam biasa.

Dan dijemput Peter kalo kesiangan.

"Ibu sudah berangkat dari tadi?" tanyaku lalu naik ke belakang Ayah.

"Iya, ada rapat katanya jadi buru-buru."

Ayah melajukan motornya dengan santai. Bukan, motornya. Ini motor adik Ayah yang bekerja di luar kota. Jadi jika Paman pulang, motornya di ambil. Dan jika Paman bekerja, motornya dia titipkan di sini. Jika tidak ada motor, Ibu yang akan mengantar dan menjemput Ayah menggunakan mobilnya.

Dipikir-pikir beban Ibu berat juga. Aku jadi tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya yang waktu itu marah.

Aku mengamati sekeliling lalu menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

Udara pagi memang yang paling nikmat.

"Sudah lama ya, kita tidak naik motor bersama?"

"Iya," jawabku tersenyum senang.

Sejak perdebatan malam itu, aku bisa merasakan Ibu semakin jauh dari jangkauanku. Dia hanya bicara jika memang harus bertanya, membuatku juga hanya bicara untuk menjawabnya. Sedangkan Ayah masih seperti biasa, jadi aku tidak terlalu merasa kehilangan.

"Bagaimana hubungan dengan teman-teman di sekolah?" tanya Ayah saat kami sudah mulai memasuki jalan raya.

"Baik-baik saja, Ata dapat banyak teman akhir-akhir ini."

"Kalau pacar?"

"P-pacar?" ulangku refleks. Ayah terkekeh kecil mendengar responku.

"Tidak apa. Ayah juga tidak melarang. Bagus kalau kamu punya seseorang untuk diandalkan, jadi Ayah tidak perlu khawatir."

Memangnya Ayah mau pergi?

Pertanyaan itu hanya kusimpan dalam hati. Aku tidak ingin bertanya karena aku juga tidak ingin tahu apa jawabannya.

Semakin ke sini, obrolannya selalu seperti ini. Sebenarnya kenapa?

Apakah memang sengaja mengirim sinyal supaya aku sempat menyiapkan mental?

"Sudah sampai," ucap Ayah tiba-tiba membuatku tersadar lalu turun dari motor.

"Ata sekolah dulu ya, Ayah." Aku menyalami tangannya lalu melambai saat Ayah berlalu.

Bisa, aku sebenarnya bisa naik motor. Hanya saja, rasanya malas sekali. Jika memang bisa diantar, why not?

Langkahku terhenti. Langkah orang di hadapanku juga terhenti.

WiFi [End]Where stories live. Discover now