5 5 - Impact

234 36 28
                                    

Aku masih diam, mendengarkan Ayah yang tengah mengungkapkan semuanya di depan mukaku. Benar kata Ibu, Ayah berencana untuk menceritakan semuanya.

"Maafkan Ayah." Kalimat itu terulang-ulang menyela jalan cerita. Nada suara Ayah terdengar tegas namun juga lemah, seakan dia tengah berusaha menguatkan dirinya sendiri.

Kurang lebih isi cerita Ayah sama dengan semua yang aku ketahui. Mulai dari hubungan Ayah dengan Bunda, lahirnya aku, meninggalnya Bunda, menikahnya Ayah dengan Ibu, keraguan Ayah hingga berpura-pura mengadopsiku, Ibu yang mulai mengetahui semuanya, dan perceraian mereka.

Aku melirik Ibu yang juga diam tanpa ekspresi. Masih tidak kupercaya bahwa Ibu bersedia memenuhi keinginan terakhirku.

"Saya ingin Ibu menutupi kenyataan bahwa saya sudah mengetahui semuanya. Biarkan Ayah menceritakan seluruhnya."

Dan keputusanku ternyata cukup tepat. Ekspresi Ayah semakin lama semakin mengendur, seakan benar-benar melepaskan beban terberatnya. Atau lebih tepatnya, mengungkapkan rahasia terdalamnya.

"Maaf Ayah baru cerita semuanya sekarang," katanya mengakhiri cerita. "Ayah pikir baru inilah saat yang tepat, saat kamu sudah benar-benar dewasa dan bisa berpikir secara sadar dan rasional."

Aku tersenyum miring dalam hati.

Saat yang tepat? Tiga hari sebelum ujian dan Ayah bilang ini saat yang tepat?

"Ata?"

Aku mendongak, melihat Ayah yang menatapku penuh harap.

"Ata memaafkan Ayah?"

Aku terdiam. Toh, semuanya sudah masa lalu. Mempermasalahkannya lagi tidak akan membuat keadaan jadi lebih baik. Namun, aku tidak ingin langsung menjawabnya.

"Ata pamit ke kamar dulu." Aku bangkit berdiri lalu berjalan keluar dari ruang tamu, meninggalkan Ayah yang tampak semakin merasa bersalah.

"Apa yang harus kulakukan?"

Aku terdiam di balik dinding, mendengar suara Ayah yang sarat akan keputusasaan.

"Dia hanya masih syok. Tunggu saja, dia pasti akan segera memaafkanmu."

Aku tersenyum tipis seketika begitu mendengar suara Ibu. Dia menepati janjinya, membuatku yakin Ibu tidak sejahat itu.

Aku melangkah masuk ke kamar, menutup pintu, lalu merebahkan diri di kasur. Lenganku menutup mata, menghela nafas lelah.

"Masalah ini selesai," gumamku. "Tinggal nunggu proses, kayaknya gue pasti ikut Ayah."

Aku bangun seketika saat mendengar ketukan di pintu. Kakiku melangkah, tanganku membuka, dan Ibu tampak berdiri dengan setelan siap pergi.

"Kami mau mengurus surat lagi," ucap Ibu langsung. "Jaga rumah."

Aku mengangguk, mulai berpikir bahwa proses cerai sangatlah rumit. Padahal baru saja tadi Ibu mengurusnya, sekarang sudah harus pergi lagi.

Ayah tidak tampak, sepertinya langsung ke mobil. Aku mengganti seragamku dengan baju santai, memakai jaket, mengambil kunci motor Paman karena dia sedang di luar kota, lalu keluar sebelum mengunci pintu rumah.

Kalian pasti tahu ke mana aku akan pergi.

💨💨💨

"Bundaa!" sapaku dengan senyum riang sambil menapaki tanah. Seperti biasa, aku duduk di samping nisannya sembari membersihkan sebentar sebelum menaburkan hortensia kesukaannya.

Sebenarnya tidak perlu sih, karena bunga yang kubawa terakhir ke sini masih tampak cantik.

Namun entah mengapa jika ke sini, membawa bunga biru cantik ini adalah suatu keharusan.

"Ternyata Ayah itu ayah kandungnya Ata," ucapku dengan tangan yang terus bergerak. "Ata harusnya seneng ya, Bunda? Tapi entah kenapa Ata nggak sebahagia yang Ata bayangkan. Mungkin karena udah beberapa tahun anggap Ayah itu ayah angkat, jadi aneh rasanya."

Aku merenung sejenak lalu berdecak ringan.

"Pasti bisa seiring berjalannya waktu. Ya kan, Bunda? Bunda pasti juga seneng liat Ata sama ayah kandungnya sendiri."

Aku terus mempertahankan senyumku, sebelum kemudian luntur secara perlahan. Tersadar bahwa aku tidak punya alasan untuk tersenyum sekarang.

"Rega bilang, salah satu cara biar bahagia itu dengan berpikir bahwa kita emang bahagia. Ata sudah coba berpikir bahwa Ata bahagia sampai di titik ini. Tapi," Aku mendongak ke arah langit. "Rasanya malah semakin menipu diri sendiri."

Aku rindu dia.

Aku rindu Nathan.

Padahal baru dua hari aku tidak berkomunikasi dengannya, tapi rasanya seperti sudah lama sekali. Mungkin karena kami terbiasa untuk berhubungan setiap waktu, saat menghilang walaupun sebentar rasanya langsung berbeda.

Aku menghela nafas, memaksa pikiranku untuk tidak mengingatnya karena malah semakin menusuk hatiku.

Lucu, kan? Padahal aku yang mengacaukan keadaan, tapi malah aku juga yang bertingkah seperti korban.

Semua ingatanku tentangnya mendesak untuk masuk. Pernyataanku di rumah Nathan, genggaman tangan kami di bioskop, dayungan lembutnya di danau, percakapan di telepon setiap malam, semuanya sampai ke titik pertengkaran kami.

"Kolot? Terus, kenapa lo nembak gue? Lo bahkan belom pernah jawab dengan bener. Apa bener karena WiFi?"

Aku terkekeh miris. Ternyata obsesiku menimbulkan kesalahpahaman yang fatal.

"Gue nembak lo, karena gue pengen bahagia," jawabku seakan menjawab pertanyaannya hari itu. "Gue pengen bahagia. Bahagia yang beneran bahagia, walaupun cuma sementara."

Dan pada akhirnya juga berakhir sementara.

"Ata bahagia banget sama Nathan loh, Bun." Aku mengusap mataku yang berair sambil kembali menaburi makam Bunda. "Tapi sekarang semuanya udah selesai, meski Ata masih pengen bahagia sama dia. Masih banyak hal yang pengen Ata lakuin bareng dia. Banyak-"

Aku terus mengusap pipiku yang kebanjiran. Akhirnya memilih untuk menundukkan kepalaku karena air mata sepertinya belum ada niat untuk berhenti.

"Ata serakah banget, ya? Pengennya bahagia terus. Nggak mau ngadepin pertengkaran, nggak mau nanggung permasalahan, nggak mau ada perpisahan."

Aku menatap ke arah batu nisan Bunda.

Athaya Dewi Pricilla

"How can I miss someone I never met?" tanyaku kepada diriku sendiri lalu terkekeh sambil mengusap pipiku lagi.

"Bunda," panggilku pelan. "Bunda kan, ada di atas sana. Tolong tanyain Tuhan dong, Ata jadwal bahagianya kapan lagi."

Tak ada jawaban.

"Kalo Ata emang nggak bisa bahagia, seenggaknya jangan bikin orang di sekitar Ata juga menderita."

Aku bangkit berdiri, menepuk-nepuk pantatku, membersihkan tanah yang menempel.

"Karena Ata yakin, lingkungan yang bahagia bisa bikin Ata bahagia juga."

💨💨💨

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang