2 0 - Raids

311 88 33
                                    

"Karena lo kan, suka sama gue."

Oke, aku benar-benar tersedak sekarang.

DIA PUNYA MATA BATIN, YA?!

Jangan-jangan anaknya Bu Sri?!

Nathan buru-buru menyodorkan minuman yang tadi aku suguhkan kepadanya dan aku meneguknya cepat. Selepas insiden tersedak selesai, aku melotot ke arahnya.

"Gue? Suka? Sama lo?"

"Sama WiFi gue," ralatnya membuat aku tersedak lagi namun disambung tawa. Diam-diam bersyukur dia mengalihkan topik.

Nathan sendiri mendengus.

"Puas-puasin aja ketawa, sampe tuh martabak keluar dari hidung lo."

Aku memaksa tawaku untuk berhenti, namun tetap tersenyum geli. Aku melahap potongan martabak terakhir lalu bangkit berdiri.

"Udah sana, pulang!" usirku setelah membayangkan kemungkinan hal yang akan terjadi jika Ayah dan Ibu melihat ada Nathan di sini.

"Gue gak dimaafin nih, ceritanya?"

"Kan bukan salah lo," kataku pelan. "Gue yang harusnya minta maaf udah marah-marah tanpa alesan tadi."

"Santai aja." Nathan ikut bangkit berdiri. "Besok jangan badmood lagi, ya?"

"Kenapa?" tanyaku tanpa pikir panjang karena hatiku menanti kalimat yang manis.

"Lo jelek kalo badmood."

Aku membuka mulutku sejenak lalu mendorongnya pergi. Nathan tertawa namun kemudian segera pamit, takut kemalaman.

Selepas Nathan pergi, aku membereskan martabak dan gelasnya tadi lalu beranjak ke kamar untuk mandi.

"Ata?!" Barulah terdengar suara Ayah membuka pintu depan.

"Di kamar!"

Apa ini? Timing-nya pas sekali.

Seperti sudah diatur oleh seseorang.

Aku berdiam sambil menikmati air dari shower yang membasahi tubuhku. Pikiranku mengulang kejadian tadi tanpa izin, dan bibirku tiba-tiba tersenyum sendiri.

"Lo jelek kalo badmood."

Berarti, aku cantik jika aku goodmood?

💨💨💨

"Iya, lo cantik kalo goodmood."

Aku menoleh, terkejut melihat Nathan ada di belakangku. Dia tersenyum lembut membuatku jadi kepanasan sendiri.

"H-hah?"

Nathan terkekeh melihatku panik sendiri, dan tiba-tiba dia meraih tanganku sambil berjalan mendekat. Matanya menatap dalam ke bola mataku.

"Rena,"

"Y-ya?" Aku gelagapan.

Dia tersenyum lagi lalu mencondongkan kepalanya, berbisik di telingaku.

"Bangun."

"Hah?"

"Bangun!"

TINIT TINIT TINIT TINIT TINIT

Aku membuka mataku cepat. Berusaha mencerna apa yang terjadi lalu menggeram kesal, sadar bahwa kejadian barusan hanyalah mimpi.

"Kayak dejavu," gumamku. "Mimpi indah yang mustahil, suara alarm yang menyela, selanjutnya berarti-"

Aku melirik jam dinding seketika.

"KAN! KAN! KAN!" Aku langsung melesat ke kamar mandi saat jam sudah menunjukkan setengah tujuh lebih sepuluh.

WiFi [End]Where stories live. Discover now