1 4 - New Port

191 85 29
                                    

Pulang sekolah kali ini tidak ada bermain bersama karena banyak dari kami yang tidak bisa. Vera ada acara keluarga, Peter ada reuni sekolah lama, dan aku hendak membantu Ibu mengajar.

"Bye, Ren!" Vera menepuk pipiku sebentar, sebagai tanda sayang katanya, lalu masuk ke dalam mobil Tora. Ya, kekasihnya yang perhatian itu memutuskan untuk mengantarkannya ke rumah daripada Ayah Vera datang menjemput ke sekolah.

Tentu saja untuk mengambil hati calon mertua.

Kulihat Peter juga langsung beranjak pergi. Mengklakson begitu melewatiku dan Rega yang masih berdiri di dekat gerbang sekolah.

"Lo kok gak pulang?" tanyaku langsung. Tidak enak juga berduaan begini setelah dia mengumumkan sudah terikat.

"Nungguin lo."

"Idih," cibirku sinis tanpa ditahan. "Inget pacar, mas!"

Aku melampiaskan kekesalanku begitu saja, padahal Rega juga tidak salah apa-apa. Iya, ya? Terserah dia kan, mau menjalin hubungan dengan siapa. Rasa kesal dan kecewaku seharusnya tidak menjadi salahnya, tapi salahku sendiri karena memasang harapan tanpa melihat realita.

Toh, aku juga sudah menduga kalau Fanya bukan hanya sekedar sepupu.

Rega terdengar memaksakan tawa, membuatku mau tak mau menoleh ke arahnya, merasa bersalah sudah menyemburnya. Dan cowok disebelahku juga ikut diam, menyadari tatapanku.

"Permisi."

Aku terkejut mendengar suara seseorang dan lebih terkejut lagi saat melihat Fanya berdiri di hadapanku dan Rega.

"Hai, Kak Renata."

Mampus.

Tak bisa kusangkal kalau suaranya memang sangat anggun, namun sorot matanya yang tajam dan senyumnya yang terus terukir membuatku merinding.

"Halo, Fanya. Hehe, mau pulang?"

"Iya. Nyariin Kak Rega ternyata di sini," katanya langsung. Rega segera berdiri ketika Fanya hendak menyentuh tangannya.

"Yaudah, ayo pulang." Rega menoleh ke arahku. "Ren, gue balik dulu, ya. See you."

"Too," jawabku singkat. Fanya melambaikan tangannya ke arahku membuatku terpaksa balas melambai.

Ada. Ada yang salah.

💨💨💨

Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur, cukup penat juga membantu Ibu mengajar. Untungnya mood Ibu sudah tidak seburuk kemarin, jadi tidak terlalu menguras tenagaku.

Sudah cukup malam dan Ayah Ibu kembali membicarakan sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku masih beriman jika itu adalah perencanaan pemasangan WiFi.

Handphone-ku bergetar lama, menandakan panggilan masuk. Segera aku membuka layar dan terkejut melihat nama pemanggil.

"Halo?" Aku langsung mengangkat telepon.

"Sejak kapan suara lo jadi kayak cewek, Van?"

Aku mengernyit mendengar jawaban Nathan lalu menyimpulkan bahwa dia salah menelepon orang.

"Ini Rena, woi."

"Rena?" Nathan diam sejenak. "Oh, gue salah orang ternyata."

"Hm," gumamku datar.

"Yaudah."

"Ya."

Hening.

Aku menunggu Nathan mematikan telepon, tapi dia tidak segera melakukannya. Memang menunggu apa lagi?

"Yaudah, gue matiin."

"Oke."

Tapi seperti ada yang aneh.

"Lo gak mungkin salah orang." Aku akhirnya mengutarakan pikiranku. "Dari Ivan ke Rena itu jauh, mana mungkin lo tiba-tiba buta."

Nathan terkekeh.

"Wah, ketahuan."

Yaampun, dia benar-benar sengaja ingin meneleponku!

Hatiku berdegup kencang, menanti apa yang hendak Nathan bicarakan.

"Ketauan lo," kataku berusaha terdengar santai. "Napa lo telpon gue?"

"Gue mau ngomongin soal WiFi."

"Kenapa?" tanyaku semangat tiba-tiba. "Lo berubah pikiran? Mau ngasi tau gue password-nya?"

Jika mimpiku tentang Rega bertolak jauh dengan realita, setidaknya mimpiku tentang password WiFi Nathan bisa menjadi nyata.

"Bahwa gue gak akan pernah kasih tau lo password-nya." Kalimat Nathan membuatku mendengus, merasakan harapanku hancur seketika.

"Ini bener-bener gak mutu. Ngapain sih, lo?"

"Gue gabut banget, Ren." Kudengar Nathan menguap. "Gak ada kerjaan."

"Orang tua lo?"

"Belum balik."

"Wah, malem juga, ya." Aku mulai kasihan dengan sosok Nathan ini. Sudah di rumah sendirian, anak tunggal, tidak ada pembantu.

"Biasa," katanya enteng. "Bosen banget gue."

"Gue kira asal ada WiFi pasti enak," ucapku lalu bangkit dari kasur.

"Gak selalu. Ada kalanya lo bosen sama semua yang ada di sosial media."

"Gue harap gue bisa merasakan momen itu," godaku membuat Nathan tertawa.

"Lo tadi bolos lagi, ya?" tanyaku sambil menyiapkan persiapan mandi.

"Iya, lagi males bangun pagi," jawabnya enteng membuatku terkekeh.

"Bener banget. Faktor utama gak enaknya sekolah tuh, kudu bangun paginya. Coba kalo sekolahnya siang, jamin gak akan ada namanya tukang bolos," kataku sembari menyindir. Yang disindir pun mendengus.

"Lo udah bolos kok bisa santai banget, sih?" tanyaku akhirnya.

"Gue tuh, gak bolos. Bolos itu gak hadir tanpa keterangan. Gue kan, selalu ada izinnya. Sakit kek, urusan keluarga kek, dan kawan-kawan."

Aku tertawa mendengar penuturan Nathan. Iya juga, ya?

"Yaudah. Lo mau apa sekarang?"

"Lo kok jadi perhatian gini?" tanyaku heran. Dia mendengus.

"Gue ngejek, salah. Gue perhatian, salah. Salah mulu gue di mata lo, lama-lama pindah ke jidat lo aja udah."

Aku tertawa seketika.

"Ya, namanya juga cowok, Nath." Nathan langsung berdecak mendengar kalimatku.

"Serahlah, nyesel gue telpon lo."

"Ah, masa?" godaku. "Gue jamin besok lo pasti telpon gue lagi."

"Mimpi," jawabnya langsung. "Eneg gue denger suara lo. Bye."

Aku mendelik.

"Lo yang telepon gue, woi! Kok jadi gue yang kena amuk terus?"

Nathan tertawa lalu mematikan telepon. Aku menatap layar handphone sejenak lalu tersenyum. Obrolan tidak penting yang entah mengapa cukup menutup luka hatiku.

Aduh, baper.

💨💨💨

aaw~ pindah dermaga
akankah berlayar?:3

STAY TUNE!

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang