[47] Aku Pergi

2.3K 125 22
                                    

Terkadang pergi adalah cara terbaik untuk mencintai. Bukan berarti menyerah, tetapi berpasrah. Karena pada dasarnya kita sadar jika bahagianya bukan lagi bersama kita.

[ [47] Aku Pergi ]

*****

Pukul setengah sepuluh malam, Devon masih terjaga. Bahkan kini rumahnya penuh dengan orang-orang yang sangat dekat dengannya, mulai dari keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Devon memang langsung menghubungi semuanya, dia takut Anya kenapa-napa. Saat dia berkata yang sejujurnya dia kena omelan sang mama, tetapi itu wajar dia memang salah.

"Gue enggak paham kenapa bisa sih lo mukul Anya sampai pingsan," ujar Bianca untuk ke sekian kalinya.

"Devon panik dan dia enggak tahu harus apa. Lo tahu kan dia gimana." Alih-alih Devon yang menjawab justru Nakalah yang menjawabnya.

"Lain kali jangan gitu," ucap Agasa seraya menepuk pundak Devon.

"Agak tahan emosinya," sambung Zemi.

Devon mengangguk, dia sangat bersyukur selalu ada teman-temannya yang mendukungnya, meskipun kini formasi kurang lengkap karena tanpa adanya Diana,  ibu muda itu memang sudah tidur karena kelelahan menjaga putranya.

"Tapi kalau dipikir-pikir kok gue pengen ngakak, ya?" Bianca tidak habis pikir bagaimana bisa Devon memukul istrinya sendiri.

"Sama By, aku juga," ucap Zemi seraya merangkul sang kekasih.

"Dasar pasangan lucknut," cibir Devon.

"Ye, daripada lo yang bisanya mukul." Bianca mengakhiri ucapannya dengan kekehan geli.

"Devon sini kamu!"

Sontak Bianca menjadi bungkam saat mendengar suara Deva kembali terdengar.

Sedangkan Devon hanya bisa pasrah, dan memilih berjalan mendekati sang mama sebelum akhirnya nanti sang mama mengamuk.

"Kenapa, Ma?" tanya Devon tepat di hadapan sang Mama.

Deva geleng-geleng kepala. "Kamu tuh malu-maluin. Masa sih kamu mukul istri sendiri, Devon."

"Maafin aku, Ma, aku kalut, aku takut."

"Harus peluk bukannya mukul."

"Udah aku peluk, tapi malah nangis."

Deva menarik napasnya kemudian menghembuskannya. Jujur Deva malu dengan besannya. Bagaimana bisa putranya ini melakukan hal aneh.

"Mama greget sama kamu. Intinya Mama mau kam—"

"Ma, udah, Ma." Dea, adik Devon datang melerai, "lagian Mama Rose enggak papa kok."

"Tapi Mama malu, Ya."

"Nasi udah jadi bubur, Ma. Mendingan kita ke kamar kak Anya, yuk! Katanya kak Anya udah sadar."

Sontak fakta itu membuat Devon dan Deva membelalakkan matanya sebelum akhirnya ibu anak itu mengucap syukur secara kompak.

"Dasar baru aja berantem," batin Dea.

Sedangkan di ujung sana sahabat-sahabat Devon tengah menggoda Naka karena sedari tadi Naka tak henti-hentinya menatap Dea.

"Halalin aja, Nak, pamali zina mata."

"Ngaco."

"Ya enggaklah, abangnya aja nikah muda."

Pasutri Player [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang