[5] Dipingit dan Permainan Hati

2.7K 208 50
                                    


Terkadang benci bisa menutupi rasa cinta kita pada seseorang, maka dari itu berusahalah menjadi pribadi yang mudah memaafkan dan tidak begitu mengutamakan ego yang pada akhirnya akan merusak segala yang kita punya. 

[ [5] Dipingit dan Permainan Hati ]

*****


"Si Bianca gimana? Masih ngambek?" tanya Devon dengan wajah yang lurus menghadap ponselnya yang menampilkan ketiga sahabatnya—Agasa, Zemi dan Naka. Sahabat yang ia temui di masa SMP. Sahabat yang selalu berjanji akan selalu ada untuk satu sama lainnya.

Zemi menggeleng. "Udah baikan, dia malah minta maaf karena ya dia waktu itu lagi badmood banget dan ternyata pas pulang dia haid. Maklum lah, cewek."

Devon menghembuskan napasnya lega, setidaknya pasangan bucin ini tidak lagi marahan karena hal kemarin. "Bagus dong. Syukur ya, semoga baik-baik aja."

"Terus lo sama Anya apa kabar?" tanya Naka.

"Ya gitu aja," jawab Devon sekenanya. "Lima hari lagi nikahan, semua urusan nyokap gue sama nyokap dia yang urus karena gue sama Anya dipingit."

"Perasaan dulu gue engga," gumam Agasa.

"Lo mah orangnya baik, Gas. Lah si Devon, nakal sekali sampai mamanya ngancam mau mengakhiri hidupnya." Zemi tertawa diakhir kalimatnya.

Devon memang sudah mengatakan semuanya, dia tidak bisa menyembunyikan apapun dari ketiga sahabatnya ini.

"Yaudah nikmati aja, banyak berdoa, minta yang terbaik sama Allah, Dev," ujar Naka diangguki Zemi dan Agasa.

"Lagian kayaknya lo masih suka sama dia. Gue tahu, Dev, mana suka mana yang cuman pelarian aja," tutur Agasa membuat Devon tak berkutik, wajahnya sedikit tegang dan jantungnya berpacu diatas kecepatan normal.

Kenapa, ya?

"Lagian dulu Anya belum ngejelasin semuanya, Dev. Coba nanti kalau udah nikah, coba omongin baik-baik. Jangan saling dendam kayak gini, kayak bocah aja," saran Zemi.

"Gue setuju, Dev. Lagian hidup dengan dendam itu makan hati, capek sendiri. Bukan dia yang kita benci yang rugi, tapi justru kita sendiri yang rugi," ujar Naka menambahkan.

Devon mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya-iya. Thanks ya selalu ada buat gue."

"Kayak kesiapa aja lu, Tong!"

"Gue minta maaf ngeluarin lo dari grup. Gue gak mau lo jalan sama Anya, tapi sibuk sama kita," ucap Naka membahas soal hari di mana dia mengeluarkan Devon dari grup khusus mereka berempat.

Devon mengangguk. "Santai aja, Nak."

"Yaudah tutup ya? Gue mau ke Diana dulu. Kasihan dari tadi jagain Evan sendirian."

"Yaudah tutup. Assalammualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

***

"Kulit Mbaknya udah mulus dan bersih. Rutin lulur ya, Mbaknya?"

Anya tersenyum tipis ke arah wanita yang kini tengah membantunya luluran. "Lumayan, Bu. Kalau lagi mau aja."

"Nanti kalau udah bersuami harus rajin ya, Mbak. Biar suaminya betah."

Pipi Anya bersemu mendengarnya, dia jadi membayangkan bagaimana nanti hidup bersama Devon. Sepertinya pria itu akan sedikit sulit untuk diluluhkan, tapi dia yakin dia bisa.

Pasutri Player [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang