[11] Musuh Dalam Selimut

3K 218 40
                                    


Terkadang kita tak menyadari bahwa orang terdekat kitalah yang ternyata musuh kita yang selalu berusaha ingin menjatuhkan.

[ [11] Musuh Dalam Selimut ]

*****

"Pengen belajar bikin brownies sama Anya." Diana merengek pada sang suami, Agasa yang berada di sampingnya. Ibu satu anak itu memang baru saja memakan brownies buatan Anya yang sengaja Devon bawa untuk kelima sahabatnya itu dan ternyata rasanya sangat lezat.

"Emang bisa?" tanya Agasa.

"Agasa, aku minta ajarin karena aku gak bisa." Diana gemas dengan suaminya itu. Sedangkan Devon, Bianca, Zemi dan Naka hanya menjadi penonton setia saja. Terlebih Devon, dia merasa pikirannya terpenuhi oleh kejadian semalam. Devon tahu pasti Anya kecewa padanya, tetapi salahkah jika Devon belum siap perihal itu? Sebenarnya bukan soal itunya, tetapi ini tentang bayi yang mungkin akan hadir. Yakinlah Devon belum siap menjadi seorang ayah.

"Gak deh nanti Evano harus ditinggal dong."

"Kamu pelit banget sih, Gas."

"Kalian tuh ya debat mulu, lihat deh tuh si Devon ngelamun terus dari tadi."

Sontak ucapan Bianca barusan membuat yang lainnya menoleh ke arah Devon yang memang sedang sibuk melamun. Entah apa yang dia pikirkan, mereka tak tahu.

"Dev, lo kenapa?" Naka menyentuh pundak Devon yang menang duduk di sampingnya.

Devon tersentak kemudian menggeleng singkat. "Gak papa."

"Kalau ada masalah cerita aja," ujar Zemi, dia yakin Devon memang sedang ada masalah.

"Iya, Dev. Kita bakalan dengerin kok." Kini Diana yang angkat bicara.

Devon kembali menggeleng. "Gue gak papa, guys, tapi boleh gak kalau Diana belajar masak aja sama Anya, tapi bawa Evano juga." Entah ide dari mana, tetapi Devon pikir jika ada Evano mungkin Anya akan terhibur karena Devon yakin permintaan Anya semalam karena gadis itu ingin memiliki anak. Benar, 'kan?

Mata Diana berbinar. "Mau, Dev! Nanti kalau Agasa gak ngizinin gue rumah lo sendiri aja eh maksudnya berdua sama Evan."

Agasa melirik Diana. "Aku ikut!" tegasnya.

"Gue juga dong pengen lihat rumah Devon!" seru Bianca.

"Yaudah semua ikut!" putus Zemi diangguki semuanya.

Devon harap dengan cara ini Anya akan terhibur dan dia janji akan mencari pemilik nomor yang mengirim foto Anya kemarin dan empat tahun lalu.

Lihat saja, permainan ini akan segera berakhir.

Sedangkan Anya termenung di kursi taman kampusnya. Dia masih ingat bagaimana eratnya pelukan Devon, bagaimana kilat cemburu terpancar dari mata Devon, tetapi yang paling Anya ingat adalah penolakan Devon akan kewajibannya. Jujur, dia ingin memiliki keturunan dari Devon dan dia harap dengan adanya sosok anak diantara keduanya bisa membuat hubungan keduanya lebih harmonis.

Ya, hanya itu. Sederhana bukan?

"Kenapa sih mukanya ditekuk mulu?" tanya Safina seraya mendudukkan diri di samping Anya.

Anya menggeleng. "Enggak papa."

"Enggak papanya cewek itu karena ada apa-apa. Right?"

"Engga juga. Kadang mereka jujur kok."

Pasutri Player [ Complete ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang