[14] Anya Ingin Baby

Start from the beginning
                                    

"Yey!" pekik Diana setelah memasukkan adonan ke oven, "thanks banget ya, Nya. Akhirnya gue bisa bikin brownies buatan lo."

Anya tersenyum. "Sama-sama, Na. Gue juga seneng bisa ngajarin lo, lo gampang belajar."

"Ah bis—"

"Diana, Evano nangis!" jerit Bianca membuat Diana dan Anya lantas saling tatap sebelum akhirnya berlari ke arah ruang tv untuk melihat kondisi Evano yang dijaga oleh Bianca.

"Evan lapel," rengek Evan saat Diana sampai di depannya.

Diana lantas tersenyum manis sebelum akhirnya mengelus puncak kepala sang putra. "Maafin Mama ya, Sayang, Mama lupa kamu belum makan."

Evan mengangguk, bocah dua tahun itu memang pintar dan selalu bisa mengerti keadaan kedua orang tuanya.

"Yaudah sekarang Mama bikinin kamu makan dulu ya?"

"Iya, Ma."

"Nya, Bi, gue titip Evan ya dan Nya gue juga minta air panas buat bikin MP-Asi buat Evan."

"Iya, Na, ambil aja."

Selepas Diana pergi ke dapur kini hanya ada Evano, Bianca dan juga Anya.

Anya sadar jika sedari tadi Bianca menatapnya tak bersahabat. Entah karena pada dan akhirnya dia berani bertanya. "Kenapa, Bi? Gue ada salah ya?"

Bianca tersentak sebelum akhirnya kembali menormalkan raut wajahnya. "Gak ada sih," jawabnya ketus, "cuman kalau liat lo suka ingat sama Tiara, dia jahat sama Diana, gue gak suka sama dia."

"Dia kan udah berubah."

"Iya gue tahu, tapi tetep aja gue masih kesel."

"Iya gue paham." Anya tahu cukup sulit untuk bisa melupakan kesalahan Tiara pada Diana, dia tahu hal ini karena Tiara sendiri yang memberi tahunya.

Bianca lantas menarik tubuh mungil Evano untuk duduk di pangkuannya. "Untung anak gue yang cakep ini masih bisa selamat, kalau engga gue benci seumur hidup sama temen lo."

Evano yang belum mengerti apa-apa itu hanya bisa diam menyimak seraya memainkan mobil-mobilannya.

"Gue tahu Tiara salah, dia juga udah minta maaf. Gue gak bisa maksa lo buat gak suka ke gue, tapi boleh ya gue gendong Evan?"

Sejak awal dia melihat Evano, dia sangat ingin menggendong batita itu. Evano sangat menggemaskan, dengan kemeja biru lengkap dengan jeans selutut berwarna senada tak lupa sepatu mungil yang menutupi kakinya pun lantas menjadi pelengkap tampilan Evano saat ini.

Sangat menggemaskan bukan?

Bianca bisa melihat tatapan penuh harap dari Anya dan akhirnya dia memberikan kesempatan pada Anya untuk menggendong Evano.

Untung Evano tidak menangis bahkan batita itu tampak senang bisa berada di gendongan Anya.

"Nama Aunty ciapa?"

Anya tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Anya, Aunty Anya."

"Nama aku Evan, kata mama altinya pemberian Tuhan paling indah. Bagus, 'kan?"

Anya mengangguk kemudian menarik Evano untuk tenggelam dalam dekapannya. Anya merasakan perasaan hangat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Anya tidak punya adik, jadi dia baru kali ini bisa menggendong batita semungil ini.

Bianca menghela napas melihat adegan mellow di depannya kemudian gadis itu berinisiatif mengirim pesan untuk Devon.

Bianca: Dev, lo banyakin usaha sama doa. Bini lo ngebet pengen punya anak, woy!!!

***

"Nya, jangan tidur dulu. Gue mau ngomong."

Anya yang kini berbaring di samping Devon pun lantas memilih mengubah posisinya menjadi duduk menyamping agar bisa melihat wajah sang suami dengan leluasa.

"Kenapa, Dev?" tanya Anya. Sebenarnya dia lelah, dia baru saja mengetik skripsinya.

Devon berdehem lebih dulu, dia gugup. Gara-gara pesan sialan dari Bianca membuat Devon merasa segelisah ini akan keadaan Anya.

"Lo pengen punya anak?" tanya Devon to the point.

Anya melotot, terkejut. "Hah?"

Sialan, Devon bisa merasakan jantungnya berdegup kencang. Ini kenapa ya? Kok jadi dia yang deg-degan?

"Lo pengen punya anak?" tanya Devon lebih santai dari yang sebelumnya.

Anya menunduk malu, dia bisa merasakan pipinya memanas karena pertanyaan Devon dan satu pertanyaannya apakah Devon akan memberikan nafkah batinnya malam ini? Jika iya, Anya siap, dia akan lupa rasa lelah karena skripsinya.

"I...iya," jawab Anya gugup.

Devon meneguk salivanya, sungguh ini jantung sialan.

Please jantung jangan dugem woy, aing lagi berusaha serius sama si Anya!

"Kalau gitu," Devon mengangkat dagu Anya agar istrinya itu tak lagi menunduk, "gu..gue, ah sial!" sentak Devon merasa kesal dengan dirinya sendiri.

Anya menatap Devon prihatin. "Dev kalau emang kamu belum siapa gak papa, kok." Kamu udah baik sama aku aja udah cukup, lanjutnya membatin.

Devon mengembuskan napasnya kemudian menarik Anya ke dekapannya. "Maaf," ucap Devon seraya mengelus surai Anya penuh kelembutan.

Sungguh, dia memang mencintai Anya, tetapi dia belum siap akan hal itu.

"Suatu saat gue janji bakalan ngasih lo hal itu, tapi gak sekarang, maaf."

Anya mengangguk, meskipun hatinya perih dan sakti, tetapi setidaknya Devon sudah berjanji dan dia sudah lebih baik padanya.

"Gak papa, Dev. Kapanpun itu, aku siap."

—Tbc.

Pasutri Player [ Complete ]Where stories live. Discover now