[11] Musuh Dalam Selimut

Start from the beginning
                                    

"Tapi gue yakin lo lagi bohong."

"Emang, tapi sorry gue gak bisa cerita."

Safina tersenyum memaklumi, mungkin masalah pribadi dan Safina cukup sadar diri. Kemudian Safina merangkul Anya seraya mengusap bahu Anya, berusaha menyalurkan kekuatan pada sahabatnya itu. "Gue tahu lo kuat dan bisa hadapin semuanya. Semangat ya?"

Anya menoleh pada Safina dan sedetik kemudian Anya memeluk Safina. "Thanks ya, Fin. Gue gak tahu kalau gak ada lo, gue harus numpahin ini semua ke siapa."

Safina mengangguk seraya mengusap punggung sahabatnya itu. "Iya, sama-sama. Jangan sungkan buat cerita ke gue. Kita 'kan udah kenal dari SMP dan Tiara sama Yura beda kampus sama kita. Jadi, gue akan selalu berusaha buat ada buat lo."

Safina tahu, hanya ini yang bisa membuat Anya sedikit membaik. Pelukan dan kata penenang dari seorang sahabat memang sangat berpengaruh.

***

"Akhirnya anak kesayangan Mama datang."

Devon memaksa dirinya untuk tetap tersenyum di depan sang Mama, dia tidak mau jika wanita yang telah melahirkannya ini bersedih karena tahu masalah yang sedang Devon alami saat ini.

Deva memeluk sang anak erat. "Mama kangen lho sama kamu, Dev."

"Devon juga," jawab Devon seraya membalas pelukan Deva.

Deva melepas pelukannya kemudian menggandeng sang putra menuju ruang tamu yang ternyata sudah ada Dea disana.

"Ke sini juga, Bang. Dea kira Abang lupa sama rumah ini," ujar Dea seraya sibuk memangku toples berisi keripik singkong balado.

"Gak baik kayak gitu sama Abang sendiri, De." Deva memperingati sang putri bungsunya itu.

Dea menyengir. "Becanda, Ma."

"Boleh gak to the points aja kenapa Mama manggil Devon ke rumah ini?"

Sontak pertanyaan Devon membuat ibu dan anak itu tersenyum jahil ke arah Devon.

"Gini nih udah ada istri mah mana ingat sama rumah soalnya betah di rumah barunya apalagi ada istri," ujar Deva menggoda.

Anya terkekeh singkat. "Kak Anya 'kan cantik, Ma. Mana tahan lama jauh dari kak Anya," ujarnya menambahkan.

Devon tersenyum tulus, tulus sangat tulus. Dia merindukan momen ini. Momen dimana dirinya bisa berkumpul bersama sang mama dan adiknya.

"Tuh kan malah senyum-senyum berarti Dea bener, Ma!" seru Dea seraya menunjuk Devon menggunakan telunjuknya.

Deva mengangguk. "Yaudah deh, De, daripada nanti uring-uringan lebih baik Mama ngomong langsung aja, ya?"

Dea mengangguk. "Iya, Ma."

Perlahan Deva mengubah posisi duduknya agar bisa menatap jelas putranya, Devon. Setelah dirasa semua sudah sesuai akhirnya Deva berbicara, "Mama mau kamu ambil alih cafe Mama."

Mata Devon membola, kaget. "Serius, Ma?!"

Deva mengangguk seraya tersenyum. "Iya, Dev. Mana mungkin Mama bohongin kamu. Mama juga tahu sekarang kamu wajib nafkahin Anya."

Devon lantas berdiri kemudian berjalan mendekati Deva lalu memeluk wanita itu erat. Melihat itu Dea pun memilih ikut dalam dekapan mama dan abangnya.

Perihal cafe, Deva memang seorang pengusaha kuliner yang memiliki dua cafe dan satu restoran. Ketiga usaha itu Deva pegang sendiri sebelum akhirnya dia bertemu dengan sang suami, Denis yang juga seorang pengusaha, pada akhirnya keduanya saling membantu dan hari ini Deva menyerahkan dua cafe miliknya—peninggalan sang ayah alias kakek Devon—kepada Devon dan soal restoran biarkan itu menjadi hak Dea kelak.

"Jadi, Papa gak diajak nih?"

Ketiganya lantas saling menguraikan pelukannya kemudian kompak menoleh ke sumber suara dan mendapati Denis yang berdiri satu meter di depan mereka.

"Papa!!!" seru Dea antusias bahkan gadis enam belas tahun itu lantas mendekati sang Papa sebelum akhirnya memeluk papanya erat.

"Sini dong ikutan, Ma, Bang," ajak Denis membuat Deva dan Devon menurut.

Kini lengkap sudah keluarga D. Ada Denis, Deva, Devon dan Dea. Sungguh, nikmat mana lagi yang kau dustakan.

***

"Dev, gue udah tahu pelakunya."

"Serius, lo? Kok cepet sih? Padahal baru tadi siang gue ngasih nomor itu."

Yap, Devon memang memutuskan untuk menyelidiki siapa pemilik nomor yang telah mengusik hubungannya dengan Anya. Devon pun lantas meminta bantuan ketiga sahabatnya dan kini Naka memberi tahunya jika dia sudah tahu pelakunya.

"Iya, gue sama anak-anak udah nemuin."

"Yaudah, jadi sebenernya itu siapa?"

"Safina."

Deg.

"Safina, temennya Anya, Tiara sama Yura?"

"Iya, Dev. Besok gue liatin chatting gue sama Tiara. Soalnya dia yang ngasih info ini."

"Oke, gue tutup. Makasih ya."

"Sama-sama."

Tut.

Devon tak menyangka ternyata ada musuh dibalik selimut.

Bagaimana jika nanti Anya tahu masalah ini?

Apakah Anya akan kecewa? Tentu, tetapi Devon belum siap akan hal itu dan akhirnya dia memilih untuk tidak mengatakan ini lebih dulu.

"Sorry, Nya, tapi gue janji bakalan ngasih tahu lo, tapi enggak sekarang. Gue gak mau bikin lo sakit hati lagi."

Devon memandangi wajah Anya yang terlelap di sampingnya. Devon memang sudah berada di kasurnya karena ini sudah jam sepuluh malam dan perihal cafe dia sudah memberi tahu Anya dan respon Anya cukup baik, katanya dia akan selalu mendukung Devon.

Cup.

"Good night Anya Aninditha Mahesa."

—Tbc.

Pasutri Player [ Complete ]Where stories live. Discover now