"Duduklah," kata Pak Van.

Mereka berdua berbagi satu kursi karena di hadapan Pak Van hanya ada dua kursi. Yang satu sudah dipakai oleh Eliza.

"Jadi... kalian berkelahi? Seseorang merekamnya dan menyebarkannya?" Pak Van menyilakan lengannya.

"Ya." Eliza menjawab dengan terus terang.

"Tapi mereka dulu yang mulai. Mereka bilang kalau kami sampah dan menarik rambut kami." Tessia ikut memberi penjelasan.

"Lupakan itu, Tessia." Pak Van menatap Tessia dengan serius. "Mereka semua sudah tidak ada, bukan? Apakah kau tak memaafkannya?"

Tessia langsung terdiam.

"Lalu, kenapa Anda memanggil kami jika Anda menganggap kalau hal itu sudah tidak perlu diingat lagi?" tanya Syahnaz.

"Bu Seril ingin kalian menulis permintaan maaf."

"Apa?!" Eliza, Syahnaz dan Tessia berseru serentak.

"Dia sangat tidak suka dengan hal-hal yang mengancam reputasi. Tapi ini kau, Eliza. Dia menyukaimu. Jadi dia takkan memberi hukuman lebih." Pak Van menjelaskan. "Itu hanyalah surat, semacam pernyataan. Kalian bisa mengumpulkannya padaku besok dan aku akan mengirimnya ke Bu Seril."

Tidak ada pilihan lain bagi Eliza, Syahnaz dan Tessia kecuali mengangguk.

"Apa banyak yang tahu kalau orang di video itu adalah kami?" tanya Tessia.

Pak Van mengangguk.

Tessia hanya bisa menempelkan tangannya di dahi. Hancur sudah nama baiknya. Apalagi masalah itu sudah benar-benar sampai ke Bu Seril. Pasti, setelah ini kepala sekolah itu akan meliriknya dengan sinis ketika dia berjalan.

~~~

"Kenapa lama banget? Gue kira kabur lagi." Hideo melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore lebih lima belas.

"Konseling." Eliza langsung bersandar di jok mobil. Dia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Bukan hanya memikirkan kasus pembunuhan berantai itu, tapi juga memikirkan surat permintaan maaf yang di minta Pak Van tadi---lebih tepatnya Bu Seril.

Hideo terkekeh. "Video itu?"

Eliza mengangguk lemah.

"Lo nggak sampai di skors 'kan?" tanya Hideo.

Sekali lagi, Eliza mengangguk. "Bu Seril udah terlalu menyukai gue."

Hideo hendak menyalakan mobil hitam itu. Saat dia hendak memijak gas mobil, seseorang mengetuk jendela mobil.

Hideo-pun membuka jendela mobilnya. "Maaf, ada apa?"

"Dia meninggalkan sesuatu." Suara yang tidak asing itu membuat Eliza sukses menoleh.

Eliza menoleh ke arah kaca mobil di sebelah Hideo yang sedang terbuka. Di sana ada Pak Van yang menunduk ke arah kaca mobil. "Kau meninggalkan sesuatu," katanya.

Eliza memiringkan kepalanya. "Apa?"

"Kalungmu?" Pak Van memberikan kalung yang biasa di pakai Eliza. Sebuah kalung dengan ujung silinder yang diberi oleh Hisao.

"Oh, maaf." Eliza meraih kalung tersebut. Salah satu rantai kalung itu terputus. Jadi, kalung itu terlepas dari leher Eliza.

"Itu masih bisa diperbaiki. Kau tinggal melepas satu rantai yang terputus itu. Lalu, menyambungkan rantai lainnya," kata Pak Van.

"Terima-kasih." Eliza tersenyum ke arah gurunya itu. "Harusnya Anda nggak perlu repot-repot."

"Tidak." Dia kembali meluruskan tubuhnya. Dia berjalan dan pergi dari mobil hitam Hideo.

Dark Angel [END]Where stories live. Discover now