[4] Mama Deva Berulah

Start from the beginning
                                    

Kenapa Anya menginginkannya?

Mengapa?

Setelah dirinya menyakiti Devon, kenapa Anya kembali dengan segala hal mengejutkan ini?

"Kalau emang kamu mau batalin semuanya, kamu datang ke rumah Anya sekarang atau kalau kamu berubah pikiran bilang sama Mama, Mama bakalan pingit kamu biar kamu gak macam-macam!" putus Deva sebelum akhirnya wanita berumur empat puluh empat tahun itu bergegas menuju kamarnya meninggalkan Devon yang masih terpaku di tempat.

Kenapa jadi serumit ini?

"Ikuti kata hati kamu, Nak." Deris tiba-tiba datang dan menepuk pundak putra sulungnya itu. "Papa tahu kamu gelisah dan bimbang, tapi Papa harap kamu gak salah ambil langkah dan kamu gak menyesal pada akhirnya."

Sedangkan di lain tempat, namun waktu yang sama, Anya sedang merenung. Dia memang baru saja mengatakan pada kedua orang tuanya, jika dia ingin membatalkan perjodohan ini padahal dia sangat ingin melanjutkannya, tapi melihat betapa terlukanya Devon, Anya tak kuasa. Sudah cukup dulu kesalahpahaman yang setengah kebenaran itu telah menyakiti Devon.

"Kenapa sesakit ini ya, Dev, ngelepas kamu?" gumamnya seraya menatap langit yang kini bertaburan bintang. "Apa aku gak bisa memperbaiki semuanya? Aku udah belajar masak lho, Dev. Katanya kamu mau punya istri yang jago masak ya?" lanjutnya seraya tersenyum tipis mengingat sebagian kenangan bersama Devon.

"Nanti kalau aku punya istri pengen banget dia itu jago masak," ujar Devon.

"Kenapa?" tanya Anya.

"Supaya aku bisa makan di rumah terus atau kita bisa masak bareng atau juga aku ngerecokin dia masak dan setiap jam makan siang di kantor aku bakalan buka bekal dari istri aku yang bikin aku semangat kerja karena pengen cepet-cepet pulang," jawab Devon.

Air mata Anya kembali luruh, dia tak kuasa menahan semuanya. Jika kalian berpikir hanya Devon yang tersakiti, maka kalian salah karena Anya pun sama, mereka sama-sama tersakiti terlebih Anya sangat menyesal akan luka yang pernah dia torehkan.

"Maafin aku, Dev."

***

Ayah dan dua anak yang tak lain adalah Deris, Devon dan Dea sedang merasa gusar seraya mengetuk-ngetuk pintu kamar ibu negara di kediamannya, siapa lagi kalau bukan Deva.

Deva kali ini berulah, ibu dua anak itu mogok makan dan tidak mau keluar kamar membuat seisi rumah heboh dan berbondong-bondong menghampiri kamarnya.

Tok. Tok. Tok.

"Ma... bukan dong!" Sedari tadi Devon tidak menyerah membujuk sang mama untuk segera keluar kamar karena dia tidak tega melihat wajah cemas papa dan adiknya. "Ma... Devon tahu pasti mama denger Devon kan? Ma, buka dong!"

"Mama gak mau keluar sebelum kamu setuju nikah sama Anya!" sahut Deva di dalam sana.

Sontak jawaban Deva membuat kedua anak dan suaminya itu tertegun tak percaya. Jadi, ceritanya Deva sedang merajuk perihal perjodohan sang putra sulungnya.

"Pilihan kamu cuman dua, Dev. Pertama, kamu nikah dan lihat mama sehat atau kamu batal nikah dan mama mati!" sambung Deva lantang di balik pintu.

"Ma!" sentak Deris. "Istighfar, Ma. Gak baik."

"Terserah, pokoknya mama tetap sama pendirian mama. Titik, gak pake koma!" tegas Deva.

Dea, sang putri bungsu hanya bisa geleng-geleng kepala. Mamanya memang selalu memakai segala cara agar apapun yang wanita berumur empat puluh empat tahun itu inginkan terkabul. "Mama siapa sih? Sumpah kalau aja ngomong kayak gitu gak dosa, mungkin dah dari tadi ngomong langsung." Dea terkikik geli seraya membatin.

"Lagian Mama pilih Anya sebagai calon Devon itu bukan main-main, Nak. Mama sudah memikirkan matang-matang. Keluarga Anya yang datang kepada Mama atau lebih tepatnya tante Rose yang datang ke Mama bilang kalau anaknya mau dijodohin sama anak Mama. Mama seneng Dev karena ada yang mau sama kamu dan Anya itu wanita yang hampir sempurna, dia cantik, dia baik, dia bisa masak dan berpendidikan. Bukannya kriteria Devon seperti itu? Iya, 'kan?" jelas Deva di balik pintu membuat Devon semakin gelisah dan bimbang.

Mungkin Anya menang sempurna, tapi pengkhianatan empat setengah tahun lalu masih teringat jelas diingatannya.

"Baik, Ma. Devon nikah sama Anya," putus Devon pada akhirnya. Dia tidak mau mamanya kenapa-napa. Dia sangat menyayangi Deva dan juga Deris dan Dea tentunya.

"Yes! Anak Mama mau nikah!" pekik Deva girang membuat Devon, Dea dan Deris bingung haruskah senang atau geleng-geleng kepala karena tingkah Deva yang terbilang konyol.

Ceklek.

Deva membuka pintu kamarnya menampilkan dirinya yang kini mengenakan daster andalannya kemudian Deva memeluk sang putra sulungnya.

"Mama yakin kamu bakalan bahagia sama Anya, firasat seorang ibu tidak pernah salah, Nak. Mama mohon jaga dan hargai dia sebagai istri mu. Berikanlah nafkah baik lahir maupun batin," bisik Deva seraya mempererat pelukannya pada Devon.

"Devon gak janji, Ma, tapi Devon cuman bisa berdoa semoga kalau emang Anya jodoh Devon, Anya akan menjadi yang pertama dan yang terakhir."

Sedangkan Dea memeluk sang papa, membuat ayah dua anak itu membalas pelukan Dea. Deris tahu pasti Dea sedang bersedih karena sebentar lagi, Devon akan pergi dari rumah ini sedangkan selama ini Dea cukup dekat dengan Devon, mereka selalu bertengkar akan hal-hal kecil.

"Dan Mama bakalan pingit kamu sampai hari h pernikahan kamu biar kamu gak macam-macam," sambung Deva.

Devon hanya bisa pasrah atas apapun yang akan terjadi nantinya.

~ TBC ~

Jadi sikap kocak Dev itu turunan sang mama ya. Ehe.

Semoga gak macam-macam lagi sampai hari h karena konflik dan plot twist sesungguhnya ada ketika mereka menikah ehe.

Ada pesan untuk:

Devon?

Anya?

Deva?

Dea?

Deris?

Author?

Kalau ada tulis ya.

Jangan lupa vote and comment.
Makasih dah mampir.
Semoga suka
See you😚😍

Pasutri Player [ Complete ]Where stories live. Discover now