#35

2.3K 157 5
                                    


Abang terlihat terdiam dan hanya menatapku. Ini yang membuatku gugup. Aku tahu abang menyukai anak kecil dan selalu bilang kalau ingin segera memiliki anak. Karena itu aku menjadi ragu untuk mengucapkan hal barusan. Terlebih Abang bahkan sudah berkhayal ingin mengajak anak kami nanti pergi ke berbagai negara.

Tapi seperti yang aku bilang, pernikahan itu dilandasi oleh dua orang bukan hanya satu kepala. Kalau belahan jiwamu belum bisa rela apakah harus memaksakan kehendakmu sendiri? Tidak kan?, yang ada malah menjadi ribut yang lebih besar lagi.

Dan perihal anak, bukan hanya masalah membuat tapi urusannya panjang hingga anakmu kelak nantinya dewasa. Yang dibentuk bukan hanya raganya tapi juga perilaku dan etikanya. Ini bukanlah hal yang mudah.

"Abang coba paham, Abang mengerti memiliki anak adalah tanggung jawab yang besar. Tak apa kalau El belum siap. Tapi bila sudah siap bilang Abang ya, perlahan-lahan kita bicarakan bagaimana arah pernikahan kita ini."

"Abang juga tidak rela melihat wanita tercintanya Abang mengorbankan tubuhnya kalau dia sendiri belum rela. Terlebih karena abang"

"Tak apa, kita belajar bersama yeu? Izinkan abang jaga dan bimbing El selalu. Abang hanya cinta pada El"

Mendengar penjelasan dan pengertiannya itu membuatku semakin jatuh cinta padanya. Aku memeluknya dan menangis sesegukan disana. Tangannya dengan sigap membawaku ke pelukannya dan menempatkanku duduk di pahanya. Aku merasakan nyaman dan aman saat berada direngkuhkannya. Bagaimana aroma tubuh dan parfumnya yang maskulin bercampur membuatku candu.

Aku melepas pelukannya dan menatap wajahnya. Aku membelai pipinya ia pun juga melakukan hal yang sama.

"Bimbing El ya abang, Maaf kalau nantinya El banyak melakukan kesalahan"

"Pasti sayang, tidak perlu takut. Abang selalu ada kapan pun cintanya abang butuh" katanya

Lambat laun ia mulai memajukan wajahnya. Aku diam dan tidak memberontak saat bibir ranumnya menyentuh miliku. Aku tidak memberontak dan membiarkannya bahkan membalasnya. Akhirnya sesi romansa itu berakhir. Dan kami melepaskan tautan bibir kami.

Aku malu dan menyembunyikan kepalaku di lehernya. Sejak kapan kau seberani ini El? Dimana urat malumu. Ah, sudahlah lagian sudah sah juga. Dasar aku.

"Malu-malu tapi mau" katanya sambil menggelitik perutku.

"Ah abang geli jangan dong" akupun membalas kelitiknya.

"Abang, kita mau ke mana jadinya?" kataku sambil berpindah duduk kembali ke kursiku. Kasihan kaki suamiku nanti pegal, aku kan berat. Hehe.

"Ada lah kau pasti suka" katanya.

"Ish tadi katanya mau beri tahu kalau sudah di pesawat" kataku sambil memanyunkan bibirku kesal dan disambar kecupan kecil darinya.

Nggak jadi ngambek deh...

"Nanti saja, kalau sudah sampai. Abang pastikan kau akan suka"

"Hmmm, Abang. Abang punya teman yang single tak?" Tanyaku padanya tiba-tiba

"Kenape memangnya? Kau nak mendua kah? Tak nak. Enak saja kau ni" katanya sambil membalik badannya membelakangiku dengan tangannya yang bersikap di dada.

"Bukanlah, kalau saja ada yang single. Bisa di jodohkan dengan Zahra dan Terry" kataku.

Badan kekar kesayangannya itu akhirnya berbalik badan dengan raut wajah cengengesan.

"Ooo, jodohkan saja dengan Ben dan Hasim. Tak liatkah wajah-wajah melas iri liat kita orang? "

"Ah iya juga. Bisalah kalau begitu. Kita atur strategi ya abang. Semoga saja mereka bisa berjodoh hehe. Jadi aku tidak kesepian karena mereka akan tinggal di Brunei"

Perjalanan kami cukup lancar. Cuaca sedang bersahabat jadi minim turbulance. Aku masih menunggu abang memberi tahu tujuan kami. Tapi yang pasti pilihannya tidak mungkin mengecewakan.

Rev: 01/08/2021

[END] The ColdestWhere stories live. Discover now