Bab 59 : Divorce me

44.4K 2.7K 265
                                    

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuat Resya semakin diambang ketakutan. Setelah ia menemukan apa yang dicarinya, ia memutuskan untuk tidak keluar kamar hingga sampai sekarang, Andrew sudah pulang dari pekerjaannya. Mungkin untuk mengambil ponsel miliknya?

"Resya?" suara panggilan Andrew  bagaikan ancaman kematian baginya. Bagaimana tidak, setelah semua kejadian pembunuhan yang ternyata dilakukan oleh suaminya sendiri Resya tidak takut? Ia merasa menyesal mempercayai pria itu. Semua memori ingatan kembali menyatu bagai kepingan puzzle di kepalanya.

Resya masih ingat dimana Andrew pernah mengatakan sendiri kepadanya jika pria itu ingin sekali membunuhnya. Resya merasa sangat menyesal kenapa ia malah memberinya kepercayaan dan tidak menghindari Andrew saja?

"Sayang, kau di dalam? Buka pintunya, kau baik-baik saja 'kan?"

Resya bergeming ditepi ranjang dengan air mata yang masih mengucur deras dipelupuk matanya. Lalu apa yang harus diperbuatnya sekarang? Semuanya sudah terlambat.

"Resya, jika dalam hitungan tiga kau masih belum membuka pintu, aku bersumpah akan mendobraknya." Resya menyambar ponsel Andrew juga beserta revolver yang sudah ditemukannya. Ia sangat tahu betul jika perkataan suaminya itu jauh dari omong kosong."Satu, dua—"

Clekkk

Hal yang pertama Resya lihat adalah raut khawatir dari wajah suaminya. Sejujurnya, jika dalang dari pembunuhan Aldo bukanlah Andrew, mungkin saja Resya memaafkannya. Tapi hal itu sudah sangat keterlaluan, Andrew dengan mudahnya merenggut orang yang dicintainya tanpa berpikir panjang mengenai perasaannya sedikit pun.

"Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Andrew dengan raut khawatir yang begitu kentara ketika ia melihat mata istrinya yang sembab. Ia meraih wajah istrinya itu dan menangkupnya lembut.

Resya menutup matanya, ia mencoba kembali meneguhkan hatinya agar tidak jatuh ke dalam kelembutan yang diberikan Andrew. Namun, ia tetap tidak sanggup untuk mengangkat senjatanya. Ia menepis lengan suaminya dengan perlahan dan kembali membuka mata.

"Jelaskan, Drew, apa maksud semua ini?" tuntut Resya dengan suara yang begitu lemah dan lirih. Suara itu begitu terdengar jelas bahwa sang empunya merasa sangat tertekan dan kecewa.

Andrew menurunkan matanya, ia menatap ponselnya yang ditunjukkan Resya lalu kembali menatap manik mata istrinya.

"Jangan membuatku khawatir, katakan dengan jelas."

Resya tertawa hambar menahan rasa perihnya. Ia merasa berdosa menikahi seorang pria yang membunuh kekasihnya sendiri dan hidup dalam kebahagiaan selama lebih dari lima bulan terakhir. "Kau membunuh Aldo, Drew. Kau yang membunuhnya," lirih Resya dengan suara serak.

Andrew bergeming.

"Katakan padaku kenapa kau melakukannya? Dan bagaimana kau bisa bersikap tenang serta tidak merasa bersalah sedikit pun?" Penuh penekatan namun begitu lemah nada yang kembali keluar dari bibirnya. "Jawab pertanyaanku!"

Pandangan Andrew melemah menatap Resya yang terlihat begitu hancur. Ia tidak pernah mengira jika kekecewaan yang diperlihatkan Resya akan begitu menyakitkan baginya pula. Hal itu bahkan berhasil menyayat sisi sentimentilnya yang paling dalam.

"Kita bicarakan ini baik-baik, aku berjanji padamu untuk menjelaskan semuanya. Untuk sekarang, aku mohon tenangkan dirimu. Kau harus banyak beristirahat."

Resya menatap Andrew dengan perasaan kecewa, lalu kemudian membuang muka. Ia menjatuhkan ponsel Andrew beserta revolver yang masih digenggamnya. Bagaimana bisa Andrew masih bisa bersikap lembut dan tenang?
Apa perlu Resya melayangkan satu tamparan keras agar Andrew tersadar jika perbuatan yang dilakukannya benar-benar sudah di luar batas?

Andrew menatap benda yang baru saja dijatuhkan Resya. Hatinya terasa sakit ketika melihat senjata itu. Apa mungkin Resya barusan berniat membunuhnya? Demi apapun, jika itu yang diniatkan istrinya, Andrew merasa sangat hancur. Ia kembali menangkup wajah Resya dan mengelus pipinya menggunakan kedua ibu jari. Tapi Resya masih enggan menatapnya seolah merasa jijik. Pertama dalam hidupnya menghadapi seorang wanita, baru kali ini Andrew merasa matanya memanas.

"Aku melakukannya karena aku sangat takut kehilanganmu. Sekarang katakan sesuatu dan tatap aku." Resya menatapnya dengan mata berair. "Apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?"

Resya kembali membuang muka. Baginya hal ini bukanlah kesalahan yang kecil. Bukan hal dimana seseorang melakukan kesalahan dan kata maaf menjadi penyelesaiannya begitu saja tanpa hukuman yang berat dan setimpal. Bukankah setiap perbuatan selalu ada ganjaran?

Belum sempat ia kembali menoleh kepada suaminya, Resya merasa kepalanya terasa sangat pening dan pandangannya mulai kabur.

"Kau memiliki pilihan. Melaporkanku atau jika kau mau atau bunuh aku sekarang juga. Aku akan—"

Buukk

Tubuh Resya limbung. Ia sudah tidak bisa menopang tubuhnya yang terasa sangat lemas. Sebelum tubuhnya benar-benar menyentuh lantai, hal terkahir ia rasakan adalah sebuah tangan kekar yang denagn sigap menahannya.

***

"Sejauh ini, kondisi kesehatan Istri anda baik-baik saja. Ia hanya kelelahan dan butuh waktu untuk istirahat," ujar seorang dokter wanita yang baru saja memeriksa keadaan Resya.

Dokter itu langsung meninggalkan kamar begitu Andrew tersenyum simpul dan mengangguk.

Andrew menatap Resya dengan tatapan lemah dan sendu. Ia merapatkan tubuhnya dan naik ke atas kasur untuk mendekap Resya lalu mengelus rambut istrinya dengan lembut dan sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan begitu hati-hati dan penuh perasaan. Tidak ada yang ia harapkan saat ini selain pemberian maaf dari Resya.

Setelah 20 menit terjaga, Andrew bisa merasakan pergerakan tangan Resya dan disusul kelopak matanya yang mulai mengerjap.

"Kau masih perlu istirahat." Andrew mengecup bibir istrinya sekilas lalu berbisik lembut. "Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah."

Resya tercekat mendengar perkataan yang terlontar itu. Andrew terlihat begitu bahagia dengan sorot binar di manik abunya untuk menanti kelahiran calon anak pertamanya tersebut. Hal itu berhasil meruntuhkan rasa marah dan kecewanya dalam sekejap. Tapi bagaimana bisa Resya melupakan perbuatan Andrew? Bagaimana anaknya nanti jika mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh?

Resya tidak bisa lagi membendung air matanya. Semuanya terlau berat dan membuat Resya tidak bisa berpikir mengenai apa yang harus ia lakukan. Dengan perasaan berat, Resya mendongak menatap Andrew.

"Ceraikan aku."

Seketika Andrew membeku saat itu juga. Bagai air es yang mengguyurnya ditengah kedinginan. Ia merasa sangat hancur. Resya benar-benar membencinya sekarang. Begitu mudah ia mengucapkan hal yang justru selama ini ditakutkan oleh Andrew.

Jika boleh jujur, Resya tidak berniat mengatakan hal itu. Ia sudah berjanji kepada ibunya agar tidak meninggalkan Andrew dalam keadaan apa pun. Tanpa diduga, kata paling menyakitkan itu keluar dari mulutnya tanpa disengaja seolah ada dorongan yang memaksanya mengatakan hal tersebut.

Cukup lama keduanya terdiam dengan Andrew yang membawa serta merta kehancurannya. Beberapa tetes air mata menghiasi mata kedua orang itu hingga Andrew sampai pada titik keberaniannya untuk mengeluarkan suara.

"Kau tahu? Hal ini bahkan terasa lebih menyakitkan ketimbang kau menembakkan revolver ke kepalaku. Tapi aku tidak bisa menolak atau mencegahmu sekarang." Andrew mengelus kening istrinya dengan lembut.

"Besok aku akan menyuruh sekretaris ku untuk membuat surat perceraiannya."

Andrew mengelus perut Resya yang membuncit lalu mencium keningnya. "Keputusan ada ditanganmu." Andrew bangun dari tidurnya dan langsung melenggang pergi keluar kamar.

***

Hola Hola! Pembaca lama pasti udah tau part ini </3

Ini edisi republish ya, biar semuanya gak penasaran.

My Psychopath Boss ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang